HomeKabar BintuniRetorika Kebebasan Berpendapat di Indonesia

Retorika Kebebasan Berpendapat di Indonesia

Ilustrasi kebebasan berpendapat

Belum tepat sebulan paska pernyataan Jokowi perihal dibutuhkannya kritik terhadap pemerintah, kini Polri mulai gencar melakukan razia medsos melalui akunnya, terhadap akun-akun yang berpotensi melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tentunya giat Polri ini menjadi anomali di tengah pembicaraan dan wacana Jokowi untuk melakukan revisi terhadap UU ITE yang disampaikan pada (15/2) yang lalu.

Apa yang digiatkan oleh Polri dengan menggencarkan razia mendsos untuk menegakkan UU ITE, tentunya bisa menjadi sarana untuk membungkam pengguna media sosial. Bagaimanapun alasannya, dengan adanya giat ini, menjadikan kontra produktif, rencana pemerintah yang sedang berpikir untuk melakukan revisi terhadap UU yang masih menjadi momok dan senjata untuk mengkriminalisasi orang.

2 Pasal Seram UU ITE

Terdapat dua Pasal di dalam UU ITE yang multitafsir, hingga bisa dipergunakan sesuai keinginan pihak pelapor, yakni;

Pasal 27 Ayat 3 UU ITE, yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Ancaman pidana terhadap perbuatan yang melanggar pasal ini diatur pada Pasal 45 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Dua pasal ini, bisa menjadi landasan handal bagi para pihak maupun pemerintah untuk menjerat mereka yang tidak disukai sesuai dengan kepentingan yang bisa diubahsuaikan. Banyak kasus yang sempat menghebohkan masyarakat, dimana terlapor diproses tindak pidananya, atas kasus-kasus sepele. Pun tidak menutup kemungkinan, seseorang yang seharusnya menjadi korban malah dijadikan sebagai tersangka, atas unggahan status media sosialnya dengan menggunakan kasus ini. Contohnya, kasus Ibu Baiq Nuril di tahun 2018. Ibu Nuril merupakan korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan kepala sekolah tempat ia bekerja. Nuril mengunggah rekaman kekerasan verbal yang dilakukan oleh Muslim, mantan kepala sekolah tersebut dan menjadi viral.

Alih-alih memproses dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Muslim, Nuril dilaporkan ke kepolisian atas dugaan pelanggaran terhadap UU ITE. Gayung bersambut, tak hanya diabaikan statusnya sebagai korban, Nuril justru didakwa dan dihukum enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Mataram.

Inilah wajah kebebasan berpendapat yang hingga kini hanya menjadi retorika. Enggannya pemerintah menaruh perhatian khusus terhadap hal ini, membuat apa yang dinyatakan oleh Jokowi perihall kritik menjadi sekadar angin surga belaka.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments