Kontestasi pemilihan presiden di Amerika Serikat pada 10 tahun terakhir, tak semegah apa yang selama ini mereka banggakan sebagai negara paling demokratis di dunia.
Polarisasi ideologis menjadikan Pilpres di Amerika Serikat menjadi afektif dan terpecah dalam dua kubu yang fanatik; Konservatif melawan Liberal. Ironisnya, dari negara yang mengaku paling demokratis, kekerasan yang disebabkan oleh sentimen politik sering terjadi antar dua kubu; Demokrat dan Republikan.
Puncak dari kekerasan saat pemilihan presiden di AS dalam sejarah modern adalah percobaan pembunuhan terhadap calon sekaligus mantan Presiden Donald Trump Jr pada saat ia sedang berkampanye di Pennsylvania, AS pada 14 Juli 2024.
Kejadian penembakan yang menyerempet dan melukai telinga Trump, menewaskan satu peserta kampanye, dan melukai dua orang lainnya yang juga menjadi peserta. Selain korban dari peserta kampanye, Thomas Matthew Crooks, pelaku penembakan juga tewas ditempat setelah ditembak oleh agen secret service AS.
Trump Merupakan Korban Ke-empat Dalam Insiden Penembakan Calon Presiden
Penembakan terhadap calon presiden AS pada saat kampanye bukan hanya terjadi kepada Donald Trump. Sebelumnya, terdapat tiga calon presiden AS yang ditembak pada saat kampanye:
Theodore Roosevelt ditembak pada 14 Oktober 1912 oleh John Schrank, seorang pemilik bar asal New York, saat berkampanye di Milwaukee, Wisconsin. Alasan Schrank menembak Roosevelt berkaitan dengan delusi yang dialaminya. Schrank mengaku bahwa dia telah mendapat “perintah” dalam mimpi dari mendiang Presiden William McKinley, yang terbunuh sebelas tahun sebelumnya, untuk mencegah Roosevelt menjabat kembali sebagai presiden.
Schrank percaya bahwa Roosevelt tidak boleh menjabat sebagai presiden untuk ketiga kalinya karena ini akan menjadi pelanggaran terhadap tradisi dua masa jabatan yang sudah berlaku. Dalam salah satu mimpinya, McKinley muncul dan menyatakan bahwa Roosevelt adalah penyebab kematiannya dan meminta Schrank untuk membalas dendam. Schrank kemudian mengikuti Roosevelt di berbagai kota sebelum akhirnya menembaknya di Milwaukee​, AS.
Meskipun terluka, Roosevelt tetap melanjutkan pidatonya, menunjukkan ketabahan dan keberanian yang membuatnya semakin populer di mata para pendukungnya. Penyerangannya mencerminkan ketegangan politik yang tinggi pada masa itu, serta risiko-risiko yang dihadapi oleh para politisi yang mencalonkan diri untuk jabatan tertinggi di negara tersebut.
George Wallace ditembak pada 15 Mei 1972, oleh Arthur Bremer saat berkampanye di Laurel, Maryland. Motif Bremer dalam menembak Wallace bukan karena alasan politik atau ideologi, melainkan lebih karena dorongan pribadi dan keinginan untuk mendapatkan ketenaran. Bremer awalnya berencana untuk membunuh Presiden Richard Nixon, tetapi memutuskan untuk menargetkan Wallace setelah menyadari bahwa pengamanan terhadap Nixon terlalu ketat.
Bremer percaya bahwa menembak Wallace akan memberinya perhatian yang sama seperti yang didapatkan para pembunuh presiden sebelumnya. Penyerangan ini terjadi pada saat Wallace sedang dalam kampanye untuk nominasi presiden dari Partai Demokrat. Wallace selamat dari serangan tersebut tetapi mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah, yang mengakhiri karir politik nasionalnya yang sedang menanjak.
John F. Kennedy dibunuh pada tanggal 22 November 1963 oleh Lee Harvey Oswald saat Kennedy sedang berkampanye di Dallas, Texas. Oswald, seorang mantan Marinir dengan simpati komunis yang dikenal, memiliki sejarah mendukung organisasi pro-Castro dan bahkan pernah mencoba membelot ke Uni Soviet. Motif pasti di balik tindakan Oswald tetap tidak jelas, tetapi diyakini bahwa keyakinan politiknya dan ketidakstabilan pribadinya memainkan peran signifikan dalam keputusannya untuk membunuh Kennedy.
Referensi:
The History Channel, ThoughtCo,