HomeGambutWALHI Papua Soroti Matinya Penanaman Anakan Sagu di Kampung Kaliki, Kabupaten Merauke

WALHI Papua Soroti Matinya Penanaman Anakan Sagu di Kampung Kaliki, Kabupaten Merauke

sebuah anakan sagu di Kampung Kaliki yang terlihat mengering pada akhir September 2019 lalu. (Foto :Wempi Doom)

Jayapura, BUR – Restorasi gambut bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut dan sejahterakan masyarakat. Upaya restorasi gambut dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu pembasahan, penanaman ulang, dan meravitalisasi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Restorasi gambut untuk kembalikan fungsi gambut bagi masyarakat.

Oleh sebab itu pendekatan 3R: rewetting atau pembasahan gambut, revegetasi atau penanaman ulang, serta revitalisasi sumber mata pencaharian dilakukan oleh pemerintah ataupun pihak terkait.

Wempi Doom salah seorang pemantau restorasi gambut saat ditemui di Abepura pada Selasa (02 Juli 2020) menjelaskan kalau dirinya melakukan pemantaun selama 5 bulan di Kampung Kaliki Kabupaten Merauke, Papua. Wempi membenarkan mengenai informasi yang dimuat oleh Jubi berjudul tentang Tanam Sagu Seribu, Mati Juga Seribu.

“Kami sekitar Bulan September 2019 , pergi melihat areal penamanam sagu. Menurut informasi masyarakat ada sekitar 10 Ha lahan yang digunakan untuk areal penanaman ini,” ujar Wempi Doom. Dan saat pemantauan ke lokasi penamaman anakan sagu , Wempi ditemani oleh seorang tokoh agama Kampung Kaliki , didapati belasan anakan pohon sagu telah mati.

“Iyah cuaca saat itu panas sekali dan kondisi gambut juga kering. Saya saat itu memperhatikan bahwa anakan sagu yang lain tidak akan dapat bertahan. Dan saya piker ini juga nanti siapa yang mau pergi setiap hari siram anakan sagu dilahan 10 Ha,” ujar Wempi Doom. Dirinya prihatin jika saat ini diduga sekitar seribu anakan sagu telah mati.

Sementara itu Wirya Supriyadi, Kepala Divisi Advokasi WALHI Papua menyampaikan bahwa dirinya menyampaikan rasa prihatin dengan matinya ratusan anakan sagu di Kampung Kaliki , Kabupaten Merauke. Pada September 2019 , dirinya sempat berkunjung ke lokasi penanaman anakan sagu bersama seorang tokoh agama. Dan memang ditemui belasan anakan sagu telah mati. Karena penanaman dilakukan saat musim kemarau.

“Kami berharap dinas terkait tidak sebatas mengejar ataupun melaksanakan proyek semata. Namun harusnya mempertimbangkan saran dan masukan dari masyarakat adat serta kondisi cuaca saat akan dilakukan penanaman anakan sagu. Serta dilakukan monitoring. Tidak tanam saja terus dibiarkan tanpa ada monitoring. Kalau gagal begini , berapa banyak anggaran yang telah terbuang sia-sia. Dan harus diingat bahwa sagu adalah totem milik salah satu marga di Suku Malind. Tentu saja ada rasa kecewa yang mendalam di mereka,” ujar Wirya Supriyadi.

Wirya Supriyadi berharap bahwa kedepannya para pihak harus serius dalam melakukan restorasi gambut. Karena kerusakan gambut belum begitu parah di Provinsi Papua, sehingga semangat perlindungan harus diperkuat untuk kesejaheraan masyarakat adat Papua dan sebagai bagian dari kepedulian terhadap situasi perubahan iklim.

Pemantaun Restorasi Gambut di Kabupaten Merauke , dilakukan dilakukan oleh WALHI Papua dengan mengirimkan tim pemantau sejak September -Desember 2019 dan Januari – Maret 2020. Dan durasi 5 bulan , tim pemantau WALHI Papua mendapatkan beragam informasi dari hasil pemantauan.

Seperti dikutip dari Jubi.co.id dari Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten Merauke, Ir. Ratna Lauce mengaku tidak mengetahui soal anggaran program waktu, karena waktu itu ia bukan kepala dinasnya. Ratna juga membenarkan penanaman anakan sagu itu di musim kemarau. Namun, menurutnya, itu sudah sesuai anjuran dari pusat, karena anakan itu ditanam sebelum bulan Oktober. “Betul ditanam bukan di saat musim hujan, namun di daerah rawa gambut yang di dalamnya terdapat air,” ungkapnya. (Iy)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments