HomeKabar BintuniPentingnya Masyarakat Adat untuk Kelestarian Alam

Pentingnya Masyarakat Adat untuk Kelestarian Alam

Ilustrasi Masyarakat Adat. Sumber: pixabay

Dalam penelitiannya, Stuart Kirsch, seorang profesor antropologi asal Amerika, melihat bagaimana perubahan perilaku masyarakat dapat terjadi dari aktivitas industri di sekitarnya. Kirsch adalah salah satu dari sekian antropolog yang meneliti hubungan korporasi dengan masyarakat, khususnya di Papua.

Ia melihat bagaimana terjadi perubahan perilaku pada masyarakat di sekitar aktivitas Industri. Sebagai contoh, masyarakat Kampung Yonggom yang tinggal di sekitar sungai Ok Tedi. Secara singkat ia menjelaskan bahwa ada sebagian masyarakat Yonggom yang mulai tidak acuh dengan kelestarian alam.

“Upah yang lebih tinggi yang dibayarkan oleh industri pertambangan, meskipun pekerjaan ini relatif sedikit dan jarang, dapat membuat orang lain enggan untuk terus terlibat dalam bentuk aktivitas tradisional,” ungkapnya.

Kondisi ini apa yang disebut sebagai konsep tabrakan ekologi atau colliding ecologies. Sebuah kondisi di mana terdapat sebuah ekologi yang mendominasi ekologi lainnya. Dalam hal ini ekologi industri pertambangan yang mendominasi ekologi masyarakat Yonggom.

Menurut Kirsch, lunturnya kepekaan warga terhadap alam dipicu oleh peluang kerja serta upah kerja yang tinggi oleh perusahaan sekitar. Fenomena ini bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, masyarakat Kampung Yonggom mendapatkan peluang kerja dan potensi peningkatan kesejahteraan hidup.

Namun, di balik peluang dan embel-embel peningkatan kualitas hidup, kepekaan terhadap kondisi alam mulai luntur. Dari kasus tersebut kita dapat belajar setidaknya satu hal: bahwa program pembangunan pemerintah boleh jadi belum mengindahkan situasi khas masyarakat setempat.

Pembangunan Inklusif atau Pembangunan Eksklusif?

Narasi yang dibawa dalam sejumlah proyek yang berlangsung di Papua adalah pembangunan inklusif. Maksudnya, program pembangunan tersebut diharapkan dapat membawa dampak baik pada masyarakat sekitar.

Program pencetakan seribu sawah, misalnya. Meski awalnya sawah dinilai akan memberikan kedaulatan pangan, program ini justru menyebabkan hal sebaliknya. Pencetakan sawah memberikan pergeseran pola pangan pada masyarakat timur Indonesia, contohnya Maluku dan Papua. 

Berdasarkan data dari Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian, beras menjadi makanan pokok bagi masyarakat Papua pada tahun 2010. Pergeseran pangan ini yang menjadi latar belakang kondisi gizi buruk dan yang terjadi pada di Asmat pada tahun 2018 lalu.

“Bayangkan, kelaparan di tengah lahan sagu. Ini karena masyarakat sudah bergantung dengan raskin,” ungkap Charles Toto, aktivis ketahanan pangan, kala membesut petisi untuk melindungi hutan sagu Papua.

Program yang semestinya membawa kedaulatan pangan dan kebermanfaatan bagi masyarakat ini lantas tidak tepat sasaran. Begitu juga kasus ekspansi sawit atau pertamabangan di Papua.Dalam artikel ilmiah yang dibuat oleh Stuart Kirsch, aktivitas industri pertambangan menggeser pandangan masyarakat tentang kelestarian alam. Menurut Kirsch, masyarakat mulai mengabaikan aktivitas tradisional, khususnya produksi pangan lokal. 

Masyarakat Yonggom mulai memilih makanan dari luar dan mengandalkan upah mereka untuk bertahan hidup. Artinya, terjadi pergeseran perilaku dalam masyarakat Yonggom. 

Hal serupa terjadi di Desa Khalaoyam. Bahkan, burung kasuari di sana tak lagi mau makan sagu lantaran hutan sagu mereka ditebang demi sawit. Akhirnya, burung kasuari di Deesa Khalaoyam gemar makan makanan manusia.

Betul juga aktivitas industri memberikan dampak positif bagi masyarakat. Namun yang perlu digarisbawahi adalah keuntungan dari aktivitas tersebut hanya bisa dinikmati segelintir orang.

Kelebihan Masyarakat Adat 

Masyarakat adat adalah sebuah komunitas yang mendiami suatu daerah pada jangka waktu yang cukup lama. Mereka memiliki ciri khas umum yakni menjaga hubungan masyarakat dengan alam. 

Demi bertahan hidup, masyarakat adat menjalankan praktik budaya, sosial, bahkan ekonomi yang berhubungan dengan tempat tinggal mereka. Menariknya, masyarakat adat menjaga hubungan baik antara komunitas dengan sumber pangan mereka. Hal ini sangat terlihat pada masyarakat adat Papua.

Sassi adalah salah satu bentuk praktik budaya antara manusia dengan sumber produksi mereka, bahkan alam. Secara sederhana, mereka membatasi perburuan agar sumber pangan mereka tidak habis. Dalam budaya tersebut, mereka juga memperhatikan aspek kelestarian alam dengan membangun pemahaman bahwa manusia harus berterima kasih pada alam yang memberikan mereka makan.

Dalam buku Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan disebutkan bahwa sejumlah masyarakat adat yang masih menjalankan pola pangan tradisional lebih berdaulat. Masyarakat itu antara lain masyarakat Boti di Timor Tengah Selatan (NTT), Baduy dan Kesepuhan di Banten, Meurambad dan Mauramba di Sumba Timur.

Ini membuktikan bahwa masyarakat adat memiliki caranya sendiri berhubungan dengan alam. Kearifan ini yang menjadikan mereka bersahabat dengan lingkungan sekitar yang dalam konteks lebih luas, mereka menjaga kelestarian alam.

Bayangkan suatu saat nanti tak ada lagi yang meramu papeda. Tak ada lagi yang menjalankan sassi baik di hutan maupun lautan. Lantas, siapa yang akan menjaga alam?

 

Sumber:

Arif, Ahmad. 2021. Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan. Jakarta: KPG

Badan Ketahanan Pangan. 2019. Badan Ketahanan Pangan Indonesia 2019. Badan Ketahanan Pangan Indonesia

Hebdon, Chris. 2015. Mining Capitalism: An Interview with Stuart Kirsch. AesEnggagement edisi 14 Desember 2015.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments