HomeKabar BintuniKeterwakilan Orang Papua di Badan Legislatif Sangat Memprihatinkan

Keterwakilan Orang Papua di Badan Legislatif Sangat Memprihatinkan

Melkianus Indouw, SH., anggota YLBH Sisar Matiti dan juga tokoh pemuda Arfak

Menjelang pemilihan serentak baik itu tingkat daerah dan pusat pada tahun 2024 nanti, salah satu anggota Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Sisar Matiti, Melkianus Indouw, SH., menyoroti komposisi Orang Asli Papua (OAP) di badan legislatif daerah baik itu tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.

Menurutnya dalam sebuah diskusi yang diadakan di kantor YLBH Sisar Matiti pada Selasa (28/02/2023), keterwakilan OAP di tingkat daerah sangat kurang. Ia sangat menyayangkan, yang mendominasi menjadi anggota DPRD di Papua Raya justru bukan dari OAP, namun masyarakat dan tokoh non-Papua.

“Kita ambil contoh saja di Teluk Bintuni ini, dari 20 anggota DPRD Teluk Bintuni, berapa banyak merupakan OAP, terlebih lagi, berapa banyak yang merupakan asli Tujuh Suku Teluk Bintuni? Hal ini sangat memprihantinkan. Karena yang paling utama adalah, Papua dan Orang Papua itu hidup berdasarkan ideologi, filsafat serta kebiasaan yang didaur dari adat dan hukum yang mengikat selama ratusan tahun di dalam masyarakat. Itu sebabnya kita mempunyai Majelis Rakyat Papua (MRP), dan dari MRP ini, bagaimana anjuran serta hukum adat kami ini bisa menjadi sebuah hukum positif? Ya seharusnya melalui anggota legislatif yang bisa mengimplementasikan ini ke dalam hukum positif, yakni Perda (Peraturan Daerah – red), ujar Pengacara muda sekaligus Tokoh Pemuda Suku Arfak.

Selain hadirnya OAP di Kabupaten Teluk Bintuni, menurutnya sebagian besar atau hampir seluruhnya jumlah OAP di dalam tubuh DPRD maupun DPR-RI sangatlah minim.

“Itu kita berbicara di tingkat legislatif daerah, sekarang coba berkaca dari DPR-RI saja Dapil Papua Barat. Semenjak Almarhum Jimmy Demianus Ijie meninggal pada tahun 2021 yang lalu, keterwakilan OAP di Senayan sudah tidak ada lagi. Ini kan menjadi anomali. Kenapa kok yang mewakili orang Papua Barat di DPR-RI, malah tidak ada OAPnya. Kembali ke daerah, kita lihat statistiknya saja. Di Kota Jayapura, dari total 40 kursi di DPRD, hanya ada 13 OAP yang duduk di situ. Di Kabupaten Jayapura, dari 25 kursi, hanya tujuh OAP yang duduk di situ,” imbuh Melki.

Melki kemudian melanjutkan dengan membeberkan data keberadaan OAP di beberapa daerah di Papua dan Papua Barat, yakni: Kabupaten Sarmi, dari 20 kursi DPRD hanya 7 orang asli Papua, di Kabupaten Boven Digoel dari 20 kursi DPRD hanya 4 orang asli Papua, di Kabupaten Merauke dari 30 kursi, hanya terisi tiga OAP, di Kabupaten Keerom dari 23 kursi DPPRD hanya diisi tujuh OAP, Sementara di Papua Barat, dari 20 kursi DPRD Kabupaten Sorong keterwakilan OAP hanya tiga orang, di Kabupaten Fakfak dari 20 kursi DPRD hanya terdapat delapan OAP, di Kabupaten Raja Ampat dari 20 kursi DPRD, hanya ada sembilan OAP, di Kota Sorong dari 30 kursi DPRD orang asli Papua hanya ada enam OAP dan di Kabupaten Teluk Wondama dari 25 kursi DPRD, OAP hanya ada 11.

“Yang sangat memprihatinkan juga di Kabupaten Wondama, dari keterwakilan OAP yang sangat minim, ada satu Perempuan Papua yang dilengserkan oleh Partai Perindo, yakni Selina Akwan. Padahal dengan duduknya satu Mama Papua di dalam badan legislatif Wondama, seharusnya bisa menjadi nilai tersendiri. Saya sangat sedih mendengar Ibu Selina Akwan dilengserkan dengan cara pergantian antar waktu. Iya itu memang hak dari partai, namun nilai-nilai adat dari sebuah daerah juga harus diperhatikan. Tanah Papua adalah tanah yang dijalankan dengan penuh keluhuran nilai adat dan perempuan. Namun partai rupanya abai untuk melihat ini,” tegas Melki.

Oleh karena itu, menurut Melki harus ada diskusi serius antara DPRD, MRP, partai politik dan juga pemerintah daerah, agar usulan atas caleg harus bisa lebih selektif dengan memperhatikan adat dan kebijakan lokal.

“Untuk Pilkada, Pileg 2024 nanti, saya kira perlu ada terobosan baru. MRP, DPRD, partai politik dan juga pemerintah daerah harus duduk bersama dan berbicara bagaimana agar representasi OAP di dalam badan legislatif bisa lebih ideal. Jika melihat komposisi jumlah penduduk misalnya di Teluk Bintuni saja, saya khawatir suara OAP di dalam badan legislatif bisa semakin tergerus. Supaya wakil rakyat itu jangan cuma ajang populer saja, tapi mengerti bagaimana nilai-nilai dan sentimen adat sebuah daerah. Percuma kita punya Otsus, jika yang mengendalikan fungsi pengawasan dan legislasi di daerah, bukan orang-orang yang merepresentasikan nilai dari kebijakan adat istiadat serta kebiasaan Orang Papua” tandas Melki

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments