HomeKabar BintuniCuitan Menteri LHK dan Jalan Trans Papua 

Cuitan Menteri LHK dan Jalan Trans Papua 

Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar. Foto: Flickr

Kontroversi cuitan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK), Siti Nurbaya Bakar, seakan mengungkap tabir soal persoalan proyek pembangunan besar-besaran di Indonesia dan kelestarian alam. Lebih khususnya, soal proyek jalan Trans-Papua.

Sehari selepas pertemuan Conference of Parties ke-26 (COP26) yang membahas isu perubahan iklim di mana Indonesia ikut menandatangani komitmen untuk mengakhiri deforestasi dan degradasi lahan pada 2030, menteri LHK mengeluarkan statement yang agaknya bertolak belakang dengan The Glasgow Leaders’ Declaration on Forest and Land Use (Deklarasi Pemimpin Glasglow atas Hutan dan Pemanfaatan Lahan).

“Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” tulis Menteri Siti.

“Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi,” tulis Siti Nurbaya dalam cuitan lainnya.

Cuitan ini merupakan lanjutan dari utas yang diunggah Siti Nurbaya soal FoLU Net Carbon Sink 2030 yang jangan diartikan sebagai zero deforestation.

“FoLU net carbon sink 2030 jangan diartikan sebagai zero deforestation. Ini perlu dipahami semua pihak bagi kepentingan Nasional,” tulis Siti.

Cuitan ini punya dua tanggapan serius. Pertama, soal keseriusan pemerintah, dalam hal ini menteri LHK, soal penanggulangan krisis iklim dunia dan Indonesia. Tanggapan dari juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, M Iqbal Damanik, misalnya.

Iqbal menegaskan bahwa tidak ada pembangunan dan pertumbuhan yang bermanfaat apabila lingkungan buruk dan bumi tidak layak huni. Pro pembangunan skala besar tanpa memerhatikan aspek lingkungan justru mempercepat kehancuran di masa depan.

“Sementara Presiden ikut menandatangani komitmen mengakhiri deforestasi dan degradasi lahan 2030, justru pernyataan yang berseberangan datang dari Menteri LHK, hanya berselang satu hari setelahnya,” tutur dia.

“Kalau tidak ada tindakan yang signifikan untuk menurunkan atau menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat serta mitigasi iklim, maka kehancuran di depan mata,” imbuhnya.

Tanggapan soal kelestarian lingkungan tak hanya datang dari pemerhati lingkungan. Anggota Komisi IV DPR, Andi Akmal Pasluddin, juga senada dengan Greenpeace. Andi mengingatkan bahwa pembangunan harus berlandaskan aspek kelestarian lingkungan.

“Jangan sampai atas nama pembangunan, semua dilegalkan dan tidak memperhatikan aspek lingkungan dan kerusakan hutan,” kata Andi mengutip Kompas.com, Kamis (4/11/2021).

Menanggapi kritik tersebut, Siti menegaskan bahwa pembangunan skala besar bukan bermakna ekstraksi besar-besaran. Bahkan, ia memaparkan fakta bahwa pemerintah berhasil mengurangi angka deforestasi dan kebakaran hutan.

Menurut Siti, angka deforestasi turun drastis, yakni hanya 115,2 ribu hektare pada tahun 2020. Angka itu adalah yang terkecil dalam 20 tahun terakhir. Kemudian, karhutlan juga dapat ditekan hingga 82 persen.

Lantas, bagaimana faktanya?

Proyek Pembangunan Skala Besar Trans-Papua untuk Siapa?

Kritik kedua selain aspek lingkungan adalah soal proyek skala besar Trans-Papua. Iqbal Damanik selaku juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia telah menegaskan bahwa pembangunan skala besar jelas-jelas merusak alam.

Salah satu contoh yang ia sebutkan adalah soal jalan Trans-Papua. Ia menyebut bahwa proyek tersebut jelas-jelas tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat Papua terlebih lingkungan.

“Jalan trans Papua, salah satu contoh pembangunan yang digadang-gadangkan, namun apakah dampaknya bagi orang Papua dan lingkungan?,” tulis Greenpeace.

Hal ini mengacu pada penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pada tahun 2019, LIPI menegaskan bahwa proyek jalan itu tidak memiliki dampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi rakyat Papua.

Hal ini diungkapkan oleh Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas. Ia mempertimbangkan beberapa aspek negatif dari proyek pembangunan jalan seperti illegal logging dan rusaknya pegunungan.

“Itu manfaatnya untuk orang asli belum terlihat. Sehingga orang bertanya itu sebenarnya jalan untuk siapa? Karena di pegunungan tengah itu illegal logging masih ada, pegunungan rusak, pendatang lebih mudah untuk mengeksploitasi alam,” kata Cahyo mengutip KBR.

LIPI menemukan banyaknya kamp kayu hasil penebangan ke arah Taman Nasional Lorentz Papua yang harusnya masuk ke dalam kawasan dilindungi. Kemudian, masuknya pendatang juga menjadi salah satu persoalan.

Contohnya, babi ternak Toraja datang ke Wamena sehingga babi orang Wamena tidak laku. Hal itu mengancam ekonomi, bukan justru meningkatkan perekonomian. Belum lagi permasalahan pokok soal akses jalan.

Trans Papua hanya menghubungkan antar kabupaten atau kota. Sedangkan, jalan yang antar kampung atau distrik justru yang lebih dibutuhkan masyarakat belum ada. 

Sejalan dengan temuan LIPI, peneliti Amnesty International Indonesia (AII) Aviva Nababan mempertanyakan lagi soal perencanaan jalan Trans Papua. Ia menyebut apakan dalam perencanaannya, proyek skala besar tersebut memikirkan hak asasi penghuninya?

“Dilihat lagi prosesnya. Apakah pemerintah melakukan fungsi-fungsinya itu dengan memikirkan hak asasi dari orang-orang yang terkena dampak? Apakah betul-betul mengikuti prinsip pelibatan masyarakat lokal? Kalau tidak, seharusnya itu diperbaiki. Kita mikirnya jangan dari perspektif Indonesia bagian Barat. Ada jalan, asyik. Ada jalan, bagus,” ujar Aviva.

 

Sumber:

Hafsyah, Siti Sadida. 2019. Peneliti LIPI: Jalan Trans Papua untuk Siapa? KBR edisi 19 Juli 2019.

Nugraheny, Dian Erika. 2021. Kontroversi Pernyataan Menteri LHK soal Pembangunan dan Deforestasi. Kompas edisi 5 November 2021. 

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments