HomeKabar BintuniBagaimana Dampak Food Estate bagi Hutan dan Masyarakat Papua?

Bagaimana Dampak Food Estate bagi Hutan dan Masyarakat Papua?

Ilustrasi padi. Foto: Pixabay

Food estate merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Tujuannya adalah menanggulangi krisis pangan sekaligus menjadi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). 

Konsep food estate sederhana. Ini adalah metode pengembangan pangan yang mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan. Dalam pengaplikasiannya, food estate mengubah lahan yang belum digarap menjadi lahan produksi tanaman pangan.

Pemerintah telah menetapkan empat provinsi sebagai lokasi proyek tersebut. Antara lain Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua. Untuk proyek PEN ini, pemerintah sudah menggelontorkan dana sebesar  Rp 356,5 triliun.

Rencana ini menuai pro dan kontra, khususnya dari pegiat lingkungan. Pasalnya, banyak kajian yang menyebutkan dampak dari pembangunan food estate ini. Tahun lalu, organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Food Estate, menolak rencana pemerintah membangun food estate.

Proyek ini dinilai berdampak bagi lingkungan, sosial dan ekonomi. Terlebih masyarakat Papua. Mereka tidak hanya menganggap hutan sebagai sumber pangan mereka. 

Lebih dari itu, hutan dan alam adalah hidup mereka. Masyarakat Papua memiliki berbagai kearifan yang menjadikan alam sebagai kesatuan dari sistem kehidupan mereka.

Hilangnya hutan sama saja mengancam kehidupan budaya, adat, bahasa, hingga religi. Berikut dampak dari food estate bagi masyarakat Papua.

Peningkatan Deforestasi

Berdasarkan riset dari Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Food Estate, pemerintah akan mengkonversi 1.304.574 hektare kawasan hutan dan 734.377 hektar areal penggunaan lain di Merauke.

Proyek serupa sudah ada sejak zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Proyek bernama Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFEE) menggunakan lahan seluas 1,3 juta hektar untuk budidaya tanaman pangan.

Adapun pemerintah membuka izin usaha pada protek MIFEE berupa pertanian tanaman pangan, perkebunan tebu dan sawit, serta hutan tanaman industri kepada 45 perusahaan. Melanjutkan proyek ini artinya membuka peluang peningkatan deforestasi.

Bayangkan, berapa banyak izin usaha yang akan masuk setelah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri No. P.24/Menlhk/Setjen/KUM.1/2020. Peraturan tersebut mengakomodasi proyek food estate untuk memanfaatkan hutan sebagai izin usaha.

Terlebih, kehadiran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan No. P.24 (Permen LHK P.24) yaitu Kawasan Hutan Ketahanan Pangan (KHKP). Peraturan tersebut membolehkan hutan produksi dan hutan lindung menjadi kawasan ketahanan pangan.

Mengtuip greenpeace, mari kita lihat potensi deforestasi yang terjadi di Papua. Saat ini, pemeritah menargetkan Merauke, Mappi, dan Boven Digoel sebagai kawasan food estate dengan luas lebih dari 2 juta hektare. 

Greenpeace menyebut, jika luas food estate ditambah bukaan lahan sawit, maka potensi deforestasi akan mencapai sekitar 50 kali luas Jakarta.

Konflik Masyarakat 

Sebagaiman dijelaskan sebelumnya, alam merupakan aspek penting bagi kehidupan masyarakat Papua. Proyek ini berpotensi memicu konflik sosial. Pasalnya, masyarakat Papua sudah terbiasa dengan tradisi berburu dan meramu.

Model food estate ini kemudian tidak akan cocok. Sabata Rumadas perwakilan koalisi mengatakan membenarkan hal itu. Bahwa, proyek food estate ini berpotensi memicu konflik masyarakat adat. Khususnya kepemilikan tanah adat.

“Bagi masyarakat adat, hidup mereka bukan saja tergantung pada alam, tetapi hidup mereka menyatu bersama alam. Kepunahan alam berarti mengancam keberlanjutan masyarakat adat,” katanya, mengutip mongabay.com.

Selain itu, Ketua Dewan Nasional Foodfirst Information and Action Network (FIAN) Indonesia, Laksmi Savitri, menyebut hal ini akan merugikan masyarakat sekitar. Kehadiran food estate akan membuka ruang bagi broker atau perantara dalam hal distribusi hasil produksi. 

Pada akhirnya, hal ini mampu memperbesar ketimpangan sosial dan pola pengelolaan pangan yang merugikan negara. Terlebih, masyarakat Papua sudah sadar akan kedaulatan pangan. 

Jadi, gerakan masyarakat untuk kembali ke pangan lokal itu sudah terjadi. Sudah jelas dengan menanam sendiri atau bersama, kita tahu pasti makanan itu berasal darimana,” ujarnya, mengutip kompas.com.

Lantas, bagaimana nasib masyarakat Papua?

Sumber:
Arumningtyas, Lusia, Asirda Elisabeth. 2020. Kala Proyek ‘Food Estate’ Bisa Makin Sulitkan Petani dan Dorong Krisis Pangan. Mongabay edisi 15 October 2020

Fitra, Syahrul. 2020. Lumbung Pangan ala Jokowi Bagai Buah Simalakama. Greenpeace edisi 7 Desember 2020.

Pandu, Pradipta. 2020. Lumbung Pangan di Papua Berisiko Sosial dan Lingkungan. Kompas edisi 23 Desember 2020.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments