HomeKabar BintuniKelestarian Hutan dan Gastronomi Masyarakat Papua

Kelestarian Hutan dan Gastronomi Masyarakat Papua

Pernah dengan kalimat ‘hutan adalah pasar bagi orang Papua’? Mereka dapat memanfaatkan segala apa yang ada dalam hutan. Mulai dari sandang, pangan, dan papan, semua tersedia oleh alam.

Ada alasan mendasar mengapa ungkapan itu benar. Pertama, karena mereka memahami cara mengolah hasil hutan. Mengutip istilah dari Charles Toto, aktivis kedaulatan pangan sekaligus juru masak asal Papua, pemanfaatan hasil hutan lekat dengan yang namanya gastronomi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gastronomi adalah istilah untuk segala persiapan dalam menyiapkan hidangan makan. Misalnya, dalam masyarakat Jawa ada gastronomi mengenai pembuatan tumpeng. Atau dalam masyarakat Minang, ada gastronomi rendang.

Menariknya, tak banyak yang tahu perihal gastronomi masyarakat Papua. Padahal, ini adalah metode paling ringkas, serta ramah lingkungan. Selain mampu menyiapkan hidangan bergizi, gastronomi Papua juga menghargai sumber daya alam yang ada.

“Hutan itu ibarat pasar bagi orang Papua dimana bisa mendapat bahan makanan tanpa mengeluarkan uang,” kata Charles mengutip Jubi edisi Rabu (22/8/2019). 

Gastronomi Papua tak lepas dari pengetahuan tentang apa yang ada dalam hutan. Sehingga, hidangan yang disajikan akan menyesuaikan dengan keadaan alam. Misalnya,  wilayah Selatan Papua misalnya, ada olahan daging rusa.

Pada wilayah dataran tinggi, masyarakat mengolah ubi jalar. Misalnya seperti masyarakat Wamena. Kemudian, warga Sentani biasa membuat ikan kuah hitam dengan ikan gabus dan daun keladi.

Masyarakat Papua secara masih menerapkan pola gastronomi yang sederhana. Dan, hal ini yang menjadikan mereka spesial.

Gastronomi Tradisional dan Kedaulatan Pangan

Terdapat sebuah penelitian yang menjelaskan kaitan gastronomi dan kedaulatan pangan. Ini karena tehnik ini sudah ada sejak manusia ada. Pola memasak dan menyediakan makan tradisional berkembang mulai dari zaman masyarakat berburu, berladang, hingga saat ini.

Gastronomi berbaur dengan budaya dan tradisi. Masyarakat tradisional menjalankan praktik budaya, sosial, bahkan ekonomi yang berhubungan dengan tempat tinggal mereka untuk bertahan hidup. 

Dalam konteks masyarakat Papua misalnya, mereka menjaga hubungan baik antara komunitas dengan sumber pangan mereka. Salah satu contohnya adalah budaya sassi yang melarang mereka berburu pada wilayah tertentu atas dasar menghargai alam.

Kondisi ini menjadikan mereka komunitas yang memiliki kedaulatan pangan. Bayangkan, mereka mampu membudidayakan sumber pangan mereka sendiri dan hidup bersama mereka. Bahkan, mereka tak perlu membayar untuk mendapatkan makanan.

Hal ini tertulis dalam buku Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan karya Ahmad Arief. Dalam penelitiannya, terdapat sejumlah masyarakat adat yang masih menjalankan pola pangan tradisional. Menurutnya, mereka lebih berdaulat secara pangan. 

Adapun beberapa masyarakat adat itu antara lain masyarakat Boti di Timor Tengah Selatan (NTT), Baduy dan Kesepuhan di Banten, Meurambad dan Mauramba di Sumba Timur.

Merusak Hutan Papua Artinya Membiarkan Mereka Kelaparan

Bukan rahasia umum lagi bahwa hutan Papua menjadi target sasaran pada konglomerat. Mulai dari investasi lahan sawit hingga industri, lumbung pangan masyarakat Papua ini yang akan menjadi korbannya. 

Hal ini yang mendorong Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Food Estate menyebut konsep kedaulatan pangan di Papua perlu dipertimbangkan kembali. Bahwa, masyarakat Papua pada dasarnya sudah memiliki konsep kedaulatan pangan tersendiri.

Perubahan sagu menjadi nasi, atau konversi hutan sagu menjadi perumahan agaknya mengancam ketahanan pangan masyarakat timur Indonesia ini. 

Merusak hutan artinya merusak gastronomi masyarakat Papua. Merusak makanan asli Papua yang sehat dan organik.

“Sagu juga mulai tergeser dengan beras dan roti. Kedepannya saya ingin orang Papua mempertahankan makanan tradisionalnya. Makanan Papua itu sehat, dan organik. Buktinya kakek saya bisa berumur hingga 105 tahun sebelum meninggal. Jadi kini saatnya orang Papua jadi tuan rumah di tanah sendiri,” ungkap Charles Toto, pendiri Jungle Chef Papua.

Sudah saatnya Papua menjadi tuan rumah di rumahnya sendiri. 

Sumber:
Arif, Ahmad. 2021. Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan. Jakarta: KPG.

Arumningtyas, Lusia, Asirda Elisabeth. 2020. Kala Proyek ‘Food Estate’ Bisa Makin Sulitkan Petani dan Dorong Krisis Pangan. Mongabay edisi 15 October 2020.

Ratumakin, Roy. 2019. Charles Toto: Saatnya orang Papua jadi tuan di rumahnya. Jubi edisi 21 Agustus 2019.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments