HomeKabar BintuniRomantisasi Sagu dan Hilangnya Hutan Papua

Romantisasi Sagu dan Hilangnya Hutan Papua

Lahan sagu Papua. Foto: Jubi

Mari menilik kebelakang terkait sugesti nasi dalam masyarakat Papua. Bahwa, sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya, nasi telah menggeser peran sagu sebagai makanan pokok masyarakat timur Indonesia itu.

“Walaupun kami makan sagu, tetapi sudah ada sugesti di tengah masyarakat Papua, jika tak makan nasi belum kenyang,” kata Herlina Felle, mengutip liputan6, tahun 2016 lalu.

Ini menjelaskan bagaimana program ketahanan pangan yang menjadikan nasi sebagai makanan pokok telah menjamah seluruh bagian Indonesia. Termasuk Papua. Namun, hal ini bagai koin bermuka dua.

Pada satu sisi, kita dapat melihat keberhasilan pemerintah dalam menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Namun sisi lainnya, sejumlah wilayah akhirnya harus menggeser makanan pokok mereka menjadi nasi.

Hal ini tak sepenuhnya baik. Misalnya, kasus gizi buruk yang terjadi pada suku Asmat pada tahun 2018. Kejadian itu merenggut nyawa 72 anak lantaran kelaparan. Hal ini bukan karena Papua kurang makanan.

Melainkan, sugesti nasi sebagai sumber makanan utama. Sagu adalah salah satu makanan pokok masyarakat Papua sejak dulu. Kemudian, beras mulai masuk pada tahun 1946. Dengan cepat, nasi sudah menjadi makanan pokok pada tahun 2010 di Papua.

“Bayangkan, kelaparan di tengah lahan sagu. Ini karena masyarakat sudah bergantung dengan raskin,” ungkap Charles Toto, juru masak terkenal asal Papua sekaligus aktivis pangan Papua. 

Bayangkan, Papua memiliki lahan sagu seluas 5,43 juta hektare. Kurang lebih, jumlah ini mencakup 85 persen dari jumlah lahan sagu dunia yang memiliki besaran 6,5 juta hektare. Namun, mereka tetap menyandang status sebagai wilayah dengan ketahanan pangan yang rendah. 

Hal ini dapat kita lihat dalam peta ketahanan pangan Indonesia tahun 2019. Dalam peta tersebut, wilayah Papua masih berwarna merah. Artinya, mereka memilik indeks ketahanan rendah. Bahkan, 5 kabupaten di Papua masuk yang terendah.

Peta Ketahanan Pangan Indonesia tahun 2019. Sumber: Badan Ketahanan Pangan

Lantas, apa jadinya ketika nasi lebih menarik daripada sagu? Apa jadinya ketika anak-anak Papua tak lagi suka makan sagu? Atau, apa yang akan terjadi kala sagu hanya menjadi makanan adat dalam rangka memenuhi ekspektasi ritual semata?

Sagu Tak Lagi Dilirik Warga, Hutannya Disergap Pengusaha

Ketika suatu komoditas tak lagi dilirik, maka perhatian warga terhadapnya pun kurang. Contohnya saja, pembukaan lahan sagu untuk lahan padi. Dalam kasus lainnya, banyak lahan sagu yang tak hanya beralih fungsi menjadi sawah. Melainkan menjadi perumahan.

Di Jayapura, terdapat hutan sagu seluas 3.302,9 hektar. Namun, hampi 90 persen lahan sagu alam ini terancam hilang. Berdasarkan data dari penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Jayapura bersama Fakultas Kehutanan Universitas Papua, seluas 2.832 hektare akan digunakan pembangunan.

Lahan tersebar di 6 distrik, yakni Sentani 1.964,5 hektare, Sentani Timur 473,0 hektare, Sentani Barat 74,6 hektare, Waibu 138,9 hektare, Unurum Guay 277,3 hektare, dan Demta 374,6 hektare.

Dikabarkan bahwa pada Distrik Sentani Barat dan Demta, lahan sagu akan menghilang 100 persen. Hal ini lantaran banyak yang mulai menjual lahan sagunya untuk para pengembang. Tujuannya adalah untuk memperoleh uang.

“Orang Sentani selama ini hidup dengan hutan sagu, tetapi orang Sentani juga yang menyerahkan hutan sagu itu untuk dihancurkan demi kepentingan pribadinya,” kata Orgenes Kaway, Kepala Kampung Bambar, mengutip kumparan.com. 

Berapa Nilai Sagu Sesungguhnya?

Masyarakat Papua hidup dari sagu. Bukan dalam makna perihal makanan saja, namun juga perihal ekonomi. Misalnya, warga Kampung Yoboi, Jayapura, Papua. Mama Leonora Tumkoye menyebut ia mampu membayar uang kuliah anaknya dari hasil berjualan sagu.

“Misal yang kuliah bilang bayar Rp7 juta uang masuk. Kita ramas sagu sampai 30 karung, bisa dapat itu,” katanya mengutip mongabay.

Dalam keadaan basah, 15 kg tepung sagu bernilai Rp. 250.000. Satu batang sagu saja mampu menghasilkan 10 karung. Artinya, Mama Leonora membutuhkan 3 batang sagu untuk menghasilkan uang 7 juta rupiah.

Ini menjelaskan bahwa sagu juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Ke depannya, wacanan sagu sebagai sumber pangan nasional perlu digalakkan. Pentingnya sagu bagi masyarakat perlu menyadarkan bahwa beralih fungsinya lahan sagu perlu mendapat perhatian khusus.

Sumber:
Badan Ketahanan Pangan. 2019. Badan Ketahanan Pangan Indonesia 2019. Badan Ketahanan Pangan Indonesia.

Batbual, Agapitus. 2016. Nasib Sagu Merauke Berganti Sawah dan Sawit. Mongabay edisi 17 Maret 2016.

Elisabeth, Asrida. 2018. Merawat Hutan Sagu di Sentani. Mongabay edisi 17 December 2018.

Janur Katharina. 2016. Solusi bagi Warga Papua Atasi Sugesti Nasi. liputan6 edisi 09 Mei 2016.

Redaksi New Guinea Kurir. 2020. Hutan Sagu di Kabupaten Jayapura yang Tergilas. New Guinea Kurir edisi 23 Oktober 2020.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments