HomeKabar BintuniYang Terjadi Antara Masyarakat Papua dengan Perusahaan Sawit

Yang Terjadi Antara Masyarakat Papua dengan Perusahaan Sawit

Ilustrasi deforestasi. Foto; Pixabay

Korindo adalah satu kasus diantara sejumlah kasus persoalan lahan dan masyarakat yang terungkap di Papua. Bayangkan, perusahaan tersebut telah membuka hutan Papua lebih dari 57.000 hektare. Luas ini  hampir seluas Seoul atau ibu kota Korea Selatan. Kasus Korindo tidak hanya soal lahan, namun sarat akan pelanggaran HAM.

Beberapa kasus pelanggaran HAM yang tercatat antara lain: pertama, kekerasan terhadap masyarakat setempat. Hal ini terjadi ketika seorang mantan sekuriti di kantor PT TSE Boven Digoel mengajukan protes bersama istrinya ke kantor PT TSE karena rumpun pohon pisang yang dia tanam di area perusahaan ditebang tanpa pemberitahuan.

Protes itu berujung pada penganiayaan yang menyebabkan korban meninggal. Atas kasus ini, Korindo, yang dinyatakan tak terlibat. Kedua, tingginya potensi konflik antar masyarakat setempat. 

Hutan area konsesi Korindo lainnya di Merauke yang terletak di selatan Boven Digoel dihuni oleh 17 marga di empat kampung di distrik Ngguti. Kini wilayah itu menjadi area konsesi PT Dongin Prabhawa, yang mulai membuka hutan sejak 2009.

Kesepakatan soal ganti rugi perusahaan atas lahan menjadi penyebab utama konflik antarmarga. Menanggapi hal ini, Korindo menegaskan pembukaan kebun kelapa sawit, menurut perusahaan, didahului dengan pertemuan-pertemuan dan perundingan bersama dengan pemilik hak ulayat.

The seventh report of the International Coalition for Papua (ICP) provides
an analysis of violations from January 2019 until December 2020

Ini adalah satu dari sekian perusahaan yang masuk ke Papua. Menurut Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional BPN Nomor 2/1999, sebuah perusahaan mendapat Izin Usaha hingga 40.000 hektare untuk wilayah Papua. Ini angka yang lebih besar dua kali lipat dari provinsi lain, yakni hanya 20.000 hektare.

Mengacu pada Laporan Koalisi Internasional Papua tahun 2020, setidaknya ada 5 kasus serupa yang terjadi di Papua. Pertama, PT Internusa Jaya Sejahtera di Merauke yang membuka lahan sekitar 2,991 hektare pada tahun 202. Perusahaan yang memiliki afiliasi dengan Indonusa Agromulia Group ini tercatat tidak melakukan dialog dengan masyarakat setempat ihwal penggunaan lahan.

Kedua,  PT Megakarya Jaya Ray yang termasuk dalam Menara Group. Perusahaan yang beroperasi di Boven Digoel ini membuka 5,308 hektare lahan dalam kurun waktu 4 tahun, yakni 2014 hingga 2018. Perusahaan ini berkonflik dengan suku Awyu lantaran mengotori sungai Kiusang dan Kiobo dengan limbah perusahaan.

Ketiga, PT Medco Papua Hijau Selaras milik The Capitol Group. Perusahaan yang beroperasi di Manokwari ini membuka lahan seluas 21,557 hektare di tahun 2020. Perusahaan ini tercatat gagal memenuhi kesepakatan dengan masyarakat lokal yakni pembayaran kompensasi, peningkatan kesehatan dan pendidikan.

Keempat, PT Rimbun Sawit Papua oleh Salim Group. Perusahaan ini membuka 18,192 hutan di Fakfak dan menyebabkan konflik horizontal dengan suku lokal seperti Mbaham, Mor dan Irarutu. 

Kelima, PT Subur Karunia Raya milik Salim Group. Perisahaan yang beroperasi di Teluk Bintuni ini diduga gagal melakukan pembayaran kompensasi untuk warga lokal. 


Sumber

Hutapea, Tigor. 2020. Omnibus Law dan Ancaman bagi Hutan dan Sumberdaya Alam Papua. Mongabay edisi 15 June 2020.
The seventh report of the International Coalition for Papua (ICP) provides an analysis of violations from January 2019 until December 2020. International Coalition for Papua (ICP).

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments