Papua, tanah kaya yang tak kunjung padam menjadi pembicaraan. Semua isu tentang Papua selalu menarik untuk dieksplorasi. Dari perdebatan tentang manfaat Otonomi Khusus (Otsus) hingga kemanusiaan dan referendum selalu menjadi pemantik yang menarik pada sebuah ruang diskusi yang kini mulai terbuka lebar.
Keinginan masyarakat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri melalui referendum, bukanlah perjalanan singkat yang baru saja terjadi. Sebelum adanya Penentuan Pendapat Rakyat yang diadakan pada tanggal 14 Juli–2 Agustus 1969, otoritas di Papua telah beberapa kali menjadi klaim negara-negara imperial.
Papua pertama kali secara tertulis ditemukan oleh seorang penjelajah Spanyol yang bernama Yñigo Ortiz de Retez. Ditemukan pada 13 Juni 1545, Retez memberikan nama Nueva Guinea karena kemiripan penduduk Papua dengan masyarakat di Pesisir Guinea di Afrika Barat.
Selang waktu berlalu, Papua menjadi wilayah yang dikuasai oleh Belanda dengan sebutan Nederlands Nieuw Guinea. Pada tahun 1945, ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya dari Belanda, secara teritorial, maka seluruh daerah kekuasaan Belanda diserahkan ke Indonesia, dan Papua bukanlah menjadi daerah yang diserahkan kepada Indonesia. Atas hal ini, pemerintah Indonesia menolak dan bersikukuh bahwa Papua juga harus diserahkan oleh Belanda. Tensi pun meningkat antara kedua negara, yang sama-sama bersikukuh mengklaim kedaulatan atas Papua.
Pada tahun 1950-an, Belanda yang masih memegang kadaulatan atas Papua mulai mempersiapkan kemerdekaan Papua dengan cara dekolonisasi. Namun, pada bulan Desember 1961, Indonesia melalui gerakan merebut kembali Irian Barat melancarkan serangan militer untuk mengambil kedaulatan ini.
Ketegangan politik antara Indonesia dan Belanda atas Papua mulai memancing perhatian dunia. Amerika Serikat kemudian kemudian menjadi penengah dan berusaha untuk mendudukkan kedua negara, serta menginisiasi “Perjanjian New York” pada tahun 1962.
Oleh PBB Indonesia kemudian diberikan mandat untuk mengadakan referendum, yang kita kenal dengan nama Pepera pada tahun 1969. Penentuan pendapat yang seharusnya dilakukan oleh seluruh masyarakat Papua, dipangkas menjadi sebuah dewan yang dipilih oleh pemerintah, dan beranggotakan 1,026 pimpinan suku-suku dari populasi masyarakat yang lebih dari 800.000 orang.
Hasil dari penentuan pendapat inilah yang menjadi legitimasi Papua berintegrasi dengan Indonesia dan menjadi bagian dari kedaulatan. Namun, dengan tidak tersalurkannya seluruh suara masyarakat, pula adanya indikasi intimidasi ketika pemungutan suara dilakukan, menjadikan hingga hari ini, masih banyak orang Papua yang menginginkan diadakannya referendum kembali dengan “one man, one vote”.
Sumber: The seventh report of the International Coalition for Papua (ICP) provides an analysis of violations from January 2019 until December 2020.