HomeKabar BintuniAsal Mula Indonesia di Mata Mancanegara

Asal Mula Indonesia di Mata Mancanegara

Iustrasi Indonesia. Foto: google

Kapan Indonesia ada? Pertanyaannya bukan kapan Indonesia merdeka, namun kapan pertama kali istilah Indonesia keluar untuk menyebut kepulauan yang ada di Asia Tenggara tersebut. Istilah Indonesia pertama kali dicetuskan oleh seorang pelancong dan pengamat sosial asal Inggris, George Windsor Earl, pada tahun 1980. Ia menyebut cabang ras polinesia yang tinggal di kepulauan Asia Tenggara itu dengan sebutan Indunesians.

Nama Hindia sendiri merupakan nama yang melekat pada wilayah di Asia Tenggara itu. Orang Belanda dulu sering menyebut tempat itu dengan sebutan The Eastern Island atau The Eastern Seas. Kata Hindia atau Hindi tersebutlah yang menginspirasi sejumlah cendekia untuk menggunakannya sebagai sebutan Indu-nesia.

Kata Indu-nesians punya makna “ras kulit cokelat yang tinggal di Kepulauan Hindia”. Namun, nama Indu-nesian menurut Earl terlalu umum sehingga ia lebih menyukai Melayunesians yang artinya ras melayu yang tinggal di Kepualuan Hindia. Namun, perlu diketahui bahwa Earl merujuk nama Melayunesians sebagai penggambaran etnografis orang-orang Hindia, dan bukan penggambaran geografis.

Oleh karenanya, kolega Earl yang bernama James Logan tidak mengindahkan penamaan kawannya itu. Menurutnya, nama Indonesia (dari Indu-nesia) lebih cocok digunakan untuk pemaknaan secara geografis. Ia menyebut Indonesia tepat sebagai nama kependekan dari Indian Island, Indian Archipelago, atau Indian Islander. Logan lantas menjadi orang pertama yang menggunakan nama Indonesia secara terus menerus dalam karyanya.

Meski demikian, nama Indian Archipelago tetap wajib digunakan. Indonesia hanyalah kependekan dari nama tersebut. Logan kemudian membagi wilayah Indonesia yang terbujur dari Sumatera hingga Formosa (Taiwan). 

Baru setelah tahun-tahun berikutnya, sejumlah peneliti dan cendekiawan mulai menggunakan nama Indonesia. Di antaranya: Hamy, anthropologis asal Prancis yang menjabarkan ras pra-sejarah orang melayu di Hindia; kemudian pada tahun 1880 ada A.H. Keane dan N.B Dennys, ahli linguistik asal Britania, yang menggunakan Indonesia sebagai penyebutan geografis kepulauan Hindia; dan Sir William Edward Maxwell dua tahun setelahnya.

Nama Indonesia semakin terkenal di dunia Internasional kala itu, ketika Adolf Bastian, seorang ahli etnografi terkemuka asal Jerman menggunakannya. Ia menggunakan istilah Indonesia pada 5 jilid karyanya yang berjudul Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia or the islands of the Malay Archipelago).

Karya Bastian membuat nama Indonesia terkenal. September 188a, G.A Wilken, seorang profesor di Universitas Leiden menggunakan istilah Indonesia itu. Akhirnya, beberapa tokoh lainnya turut menggunakan istilah Indonesia meski tidak terlalu sering. Seperti H. Kern, G.K Niemann, C.M. Pleyre, hingga Christiaan Snouck Hurgronje. Tahun 1906, seorang misionaris dan ahli etnografi, A.C. Kruyt menggunakan istilah Indonesia dalam karyanya soal animisme.

Lantas, apa itu Indonesia? Elson dalam karyanya menyebut bahwa Indonesia lebih merujuk pada penjelasan untuk orang-orang dengan kesamaan ciri etnis dan budaya pada wilayah Hindia. Bahkan, dalam buku Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (1899), Indonesia disebutkan sebagai nama wilayah tersendiri bersanding dengan wilayah New Guinea, Melanesia, Polinesia, Mikronesia, Filipina, Selandia Baru, Madagaskar, hingga semenanjung Malaka dan pedalaman Formosa. Artinya, Indonesia merujuk pada suatu wilayah yang dihuni oleh orang ras Melayu yang memiliki kesamaan adat, ciri etnis, dan budaya.

Penggunaan kata Indonesia yang masih kurang jelas ini membuat sejumlah cendekiawan mengartikannya berbeda-beda. Ada yang menyebut Indonesians sebagai orang ras Melayu dengan ciri sama. Ada yang menyebut Indonesia sebagai tempat tinggal orang Melayu.

Indonesia Sebagai Nama Politis

Sebelum abad ke-16, Indonesia dimaknai secara luas. Pemaknaan ini didominasi terhadap makna etnografis dan geografis saja. Artinya, Indonesia bukanlah sebuah negara yang diakui secara politis oleh negara lainnya. Ia hanya berupa sebuah wilayah dengan kumpulan orang-orang Melayu yang memiliki kesamaan ciri etnis dan budaya. 

Nama Indonesia secara politis mulai muncul ketika Belanda menciptakan Hindia Belanda Timur. Setidaknya, Indonesia secara politis terwujud melalui dua proses. Proses pertama, meluasnya kekuasaan Belanda di seluruh wilayah Indonesia. Singkatnya, Indonesia adalah wilayah yang di mana terdapat kekuasaan Belanda saat itu. Selepas 1870, seluruh wilayah Hindia dalam kekuasaan Belanda, secara tidak langsung masuk ke dalam wilayah kolonial efektif Belanda.

Soal ini, Elson dalam bukunya menyebut bahwa Belanda mendapat restu dari Britania dalam menduduki wilayah Hindia Timur itu. Namun, wilayah kolonial Belanda tidak sampai keluar Jawa hingga akhir abad ke-19. Ini membuat G.K. Resink, seorang ahli hukum, menyebut bahwa Indonesia secara keseluruhan tidak pernah dijajah selama 300 tahun. Hanya pulau Jawa saja yang secara efektif menjadi daerah kolonial Belanda selama 3 abad tersebut.

Setelah memiliki wilayah sentral dalam kegiatan kolonialisme, Belanda mulai melebarkan sayap kolonialnya. Tokoh dalam penyebaran kekuasaan Belanda ke seluruh Nusantara adalah J.B. Van Heutsz. Kisah kepahlawanannya itu berakhir pada tahun 1909 dan dirinya diabadikan dalam bentuk patung di Batavia pada tahun 1932 (sekarang ada di Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta). Ia menjabat sebagai gubernur Hindia Belanda pada tahun 1904-1909.

Jika diperhatikan, patung J.B. van Heutsz megah dengan ukiran-ukiran Nusantara. Dalam ukiran tersebut terdapat relief Aceh, Jawa, dan Papua. Ini menandakan bahwa J.B. van Heutsz merupakan penggawa yang berhasil menaklukkan wilayah tersebut. Bersama Snouck, ia menaklukkan Aceh dan membuatnya bergantung pada pusat pemerintahan di Batavia.

Proses kedua yang membentuk Indonesia sebagai sebutan politis adalah persatuan seluruh warga Indonesia. Integrasi ini terjadi sebagai dampak dari perkembangan sarana angkutan baik pelayaran maupun kereta, transmigrasi ke wilayah jajahan lain, kegiatan ekonomi, hingga sistem administrasi (pajak, hukum, dan mata uang) yang terpusat. 

Seluruh hal tersebut membuat warga antar wilayah jajahan saling bertemu dan membentuk kepahaman satu sama lain. Penggunaan bahasa Melayu pun mulai digunakan di bagian kepulauan lainnya. Namun, ini juga berdampak pada kegiatan ekonomi dan budaya masyarakat luar pualu Jawa. Misalnya, wilayah timur yang dipaksa mengikuti pola perekonomian Jawa. ia terisolasi dari negara luar sehingga hanya menjadi danau orang Belanda (tak tersentuh).

Sekitar awal abad ke 20 (yakni 1900-an), identitas Hindia secara politis mulai diakui. Hal ini karena kolonial Belanda mulai merencanakan pendudukannya secara politis agar bisa dikendalikan secara legal. Indonesia tak lagi sebagai sebuah koloni, melainkan negara koloni. Yang menandai Indonesia sebagai sebuah negara koloni adalah peningkatan kemerdekaan keuangan dan kedudukan legal yang diberikan kepada Hindia pada tahun 1912. 

Ritsema van Eck, seorang pemikir Belanda melihat Hindia sebagai imperium raya Belanda yang baru pada tahun 1912. Hindia nantinya–dalam spekulasinya–adalah sebuah negara yang terbentuk atas ras-ras Hindia–seperti Jawa, Aceh, Sunda, dan lain sebagainya–yang menolak kesatuan masyarakat pribumi. Artinya, mereka terpecah menjadi negara di bawah imperialisme Belanda. Singkat cerita, Belanda hendak memeliharan wilayah Hindia.

Atas pemikiran tersebut, mulailah terbentuk dewan perwakilan Belanda di Hindia untuk membahas pemerintahan. Dewan tersebut bernama Volksraad atau ‘Dewan Rakyat’. Pemilihan Dewan rakyat ini ditunjuk oleh konstituen berjumlah sedikit dan sebagian kecil orang Indonesia. Dengan adanya dewan tersebut, Belanda hendak mengubah Hindia ke arah yang lebih modern dengan sistem pemerintahan ala Barat.

Namun, jika saja Hendrikus Colijn tidak menentang sebagian besar gagasan tersebut, mungkin kini Indonesia menjadi negara Hindia Timur Belanda. Pasalnya, Colijn, seorang anak didik van Heutsz, menganggap bahwa identitas budaya orang-orang Hindia perlu dijaga. Identitas mereka sebagai masyarakat kepulauan harus dijaga, agar mereka tidak tunduk hanya pada Belanda, atau bahkan hanya pada Jawa saja. 

Dengan demikian, hingga pada awal abad-19, istilah Indonesia mulai dikenal secara politis. Meslo lebih dikenal dengan nama Hindia Belanda, namun ada juga yang menyebutnya dengan sebutan Indonesia. Ini ditemukan pada salah satu jurnal terbitan antara 1911 hingga 1925 oleh para sarjana zaman itu. Khususnya mereka yang belajar pada jurusan Indologi di Leiden, Belanda. 

Abad tersebut juga tanda bahwa Belanda tengah membangun Hindia–meskipun disebut sebagai penjajahan, Belanda tak lepas dari program pembangunan masyarakat–khususnya dalam hal pemerintahan dan pendidikan.

Indonesia, Hindia, Hindia Belanda, dan Nusantara

Antara Indonesia, Hindia, Hindia Belanda, dan Nusantara, mana nama yang akan digunakan? Pertanyaan tersebut muncul dalam benak masyarakat Hindia Timur. Seperti yang dibahas dalam bagian sebelumnya, bahwa konsep Indonesia merupakan salah satu sumbangan dari mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di Belanda. Nama itu yang semula hanya merupakan konsep geografis–sebagaimana Earl dan Logan pertama kali menggunakan nama Indonesia untuk menyebut kepulauan Hindia Timur–telah berkembang. Indonesia mulai dikenal sebagai konsep yang merepresentasikan wilayah politik bahkan budayanya.

Ada apa dengan sebutan lainnya? Mengapa harus menggunakan nama Indonesia? Nama Hindia Timur kurang berkesan, sedangkan Hindia Timur Belanda merupakan nama yang menggambarkan dominasi penjajah. Sebutan lainnya, Inlander, merupakan nama yang terkesan mengopresi dan diskriminatif. Kesannya seperti merendahkan masyarakat Hindia. Selain Inlader, ada Insulinde yang dikenalkan oleh Multatuli, kakek dari Douwes Dekker, sebagai nama yang kurang disukai masyarakat Indonesia lantaran kurang reprsesntatif dengan keadaan masyarakat Indonesia secara budaya.

Dari nama-nama tersebut, ada satu nama yang menjadi pertimbangan. Bahkan nama itu terkenal hingga saat ini, yakni Nusantara. Nama tersebut berasal dari kitab buatan abad keenam belas Pararaton yang menggambarkan negeri Hindia Timur. Penerimaan nama Nusantara terlihat dari bagaimana hingga kini istilah tersebut langgeng bersanding dengan Indonesia. Namun, ada persoalan serius mengapa kini Hindia disebut dengan Indonesia dan bukan Nusantara. 

Sebagaimana yang kita ketahui, Nusantara berasal dari salah satu karya literasi kerajaan Majapahit, yang mana menggunakan bahasa Jawa. Kondisi ini menggambarkan bagaimana nama Nusantara berasal dari kerajaan Majapahit–yang notabene berasal Jawa. Lantas, nama Nusantara kurang tepat menggambarkan Hindia Timur karena terkesan Jawa-sentris. 

“Orang-orang dan suku-suku yang hidup idi sini … akan mengembangkan diri menjadi bangsa Indonesia,” 

-van Hinloopen Labberton

Kalimat itu sekaligus mempopulerkan istilah Indonesia sebagai nama dari Hindia Timur kala amandemen Volksraad tentang sebutan nama Hindia Belanda keluar. Pada tahun 1921, tiga orang Belanda yang dipimpin oleh van Hinloopen Labberton mengajukan amandemen tersebut atas Konstitusi Hindia Belanda dan mengganti sebutan Hindia Belanda dengan Indonesia. 

 

Sumber:

Elson, Robert R. 2008. The Idea of Indonesia: A History. Cambridge. Cambridge University Press.

 J.R Logan. 1850.  The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing Enquiries into the Continental Relation of the Indo-Pacific Islanders. JIAEA, pp. 254

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments