Sekitar 1.000 pelajar di Yahukimo pada hari Kamis (20/01) berunjuk rasa meminta agar pemerintah segera menarik satuan Brimob yang sudah beberapa bulan ini menempati beberapa sekolah di Yahukimo. Adapun yang dijadikan markas atau tempat tinggal oleh anggota Brimob ini adalah SMA Negeri 2 Dekai, SMA Ninia, dan SMK Negeri 2 Deikai.
Keberadaan Brimob yang sudah beberapa bulan, dirasakan sangat mengganggu aktivitas belajar mengajar. Belum lagi rasa ketakutan yang menghantui para pelajar, jika sewaktu-waktu terjadi kontak senjata. Hal ini diungkapkan oleh Yohanes Akwan, Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Sisar Matiti, di Manokwari melalui sambungan telepon pada (21/01).
“Ini pelajar, masyarakat ini mempunyai hak sebagai warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Mereka kemudian kirim Brimob dan menjadikan sekolah sebagai tempat tinggal, jelas sangat mengganggu kegiatan belajar mengajar. Satu lagi, belum perasaan ketakutan yang bisa muncul dan menimbulkan trauma bagi anak-anak. Tidak pantas, sebuah lokasi yang netral dijadikan tempat bagi pasukan keamanan, baik tentara maupun kepolisian,” ungkap Akwan.
Okupansi Militer di Sekolah Sudah Sejak 2007
Menurut laporan dari Human Rights Watch, okupansi militer di fasilitas publik seperti sekolah sudah terjadi sejak tahun 2007. Dari hasil riset yang dirilis oleh Koalisi Global untuk Melindungi Pendidikan dari Serangan (Global Coalition to Protect Education from Attack), setidaknya okupansi militer di gedung sekolah maupun universitas terjadi di 29 negara.
Bukan hanya sebagai barak atau tempat tinggal. Gedung pendidikan dialihfungsikan sebagai tempat pelatihan tentara, tempat interogasi, maupun ruangan penahanan.
Menurut Letnan Jendral Carlos Loitey, Penasihat Militer untuk Misi Perdamaian PBB, adanya okupansi militer di sekolah bisa menjadikan trauma tersendiri bagi remaja dan masyarakat sekitar, terutama pelajar yang terganggu aktivitas pendidikannya.
“Tidak mungkin masyarakat dan anak-anak bisa menjalankan kegiatan belajar mengajar pada situasi seperti ini. Cara-cara seperti ini merupakan cara yang berulang terjadi, mengganggu aktivitas pendidikan di sebuah daerah,” ungkapnya mengutip HRW.Org.
Menurut Letnan Jendral Romeo Dellaire, mantan pimpinan misi perdamaian untuk PBB, sekolah haruslah menjadi tempat yang netral. Dijauhkan dari konflik dan friksi yang terjadi pada sebuah daerah yang bergejolak. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak dan pelajar tidak trauma atas konflik yang sedang terjadi.
Menarik militer maupun kekuatan keamanan negara dari sekolah-sekolah, merupakan bentuk inisiatif perdamaian. Setidaknya ini menjadi sinyal yang positif pada daerah yang berkonflik untuk masa depan anak-anak yang lebih optimis dan cerah. Jika pola penempatan gedung pendidikan masih terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia di Tanah Papua, bisakah pemerataan pendidikan itu tercapai? Jika pelajar sendiri tidak bisa merasa aman, dan terganggu aktivitas belajar mengajarnya.