HomeKabar BintuniSurat untuk Presiden dari Masyarakat Degeuwo, Papua

Surat untuk Presiden dari Masyarakat Degeuwo, Papua

Ilustrasi Degeuwo, Papua. Foto: Istimewa

Sudah sepuluh tahun lebih masyarakat Degeuwo merasa terabaikan oleh pemerintah. Pada tahun 2019 lalu, Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani Mee dan Moni (LPMA SWAMEMO) Wilayah Adat Meepago Papua kembali mengingatkan pemerintah daerah.  Mengutip suarapara.com, Yunus Gobai, sebagaimana sebelumnya disebutkan sebelumnya, meminta Pemerintah Daerah untuk tidak melupakan Degeuwo.

“Saya lihat Pemda Kabupaten Paniai sekarang punya banyak gebrakan baru untuk memajukan daerah Paniai. Tapi saya mau ingatkan Pemda jangan lupa dengan masalah Degeuwo. Soalnya sampai sekarang masih bermasalah,” jelasnya.

Kendati demikian, masyarakat Degeuwo masih membutuhkan uluran tangan, terkhusus Presiden. Salam sebuah pesan, LPMA SWAMEMO meminta bantuan orang nomor satu Indonesia untuk menyelesaikan persoalan mendasar sengketa kasus penambangan emas liar sepanjang sungai Degeuwo di wilayah hukum adat masyarakat Suku Walani, Mee dan Moni, Kabupaten Paniai, Papua.

“Yang mulia Bapak Presiden Republik Indonesia, sejak tahun 2001-2015 saat ini kami masyarakat Suku Walani Mee dan Moni kewalahan untuk penyelesaian  persoalan penambangan emas ilegal sepanjang sungai Degeuwo,” tulis pesan tersebut.

“Kami juga merasa  hidup tidak aman dan tidak sanggup  di atas tanah dan hak ulayatnya sendiri, juga memikul beban  karena adanya dampak penambangan liar tersebut. Maka itu sekali lagi  kami sangat memohon kebesaran hati bapak Presiden Rrepublik Indonesia  memohon dan meminta kepada bapak menyelesaikan persoalan penambangan liar yang kami sedang hadapi ini,” sambungnya

Pesan ini diketahui ditulis pada tahun 2015 di mana sengketa dan persoalan masyarakat Degeuwo sudah ada sejak tahun 2001. Dalam surat tersebut, masyarakat Degeuwo menyebutkan secara spesifik persoalan yang disebabkan oleh perusahaan yang beroperasi di sana,  PT Madinah Qurrata’ain yang bekerja sama dengan PT West Wits Mining.

“Pada 26 September 2013, kami menemukan dan menerima laporan langsung dari masyarakat tanah adat dan kepala Suku Walani, bahwa lahan yang digunakan untuk berkebun dihancurkan, hutan dan gunung digusur, rumah-rumah  masyarakat dihancurkan, tempat-tempat keramat dihancurkan,” tulis pesan tersebut.

Adapun pelanggaran yang dilakukan mencakup pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, perampasan kekayaan alam, hingga persoalan kesehatan seperti HIV/AIDS. Atas hal tersebut, masyarakat memohon untuk mencabut izin perusahaan terserbut dan perusahaan lainnya. 

Degeuwo Bukan Sekadar Persoalan Tambang

Jika Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebut areal pertambangan sarat akan kekerasan, Degeuwo lebih dari itu. Tak hanya kekerasan, namun kasus di sana mencakup pengiriman minuman keras, wanita penghibur, karaoke, kekerasan, dan lainnya masih bercokol.

Sejak tahun 2001 pihak luar yang hadir untuk melakukan penambangan secara tradisional alat-alat berat masuk dan mulai melakukan aktivitas penambangan. Tahun 2014, terdapat 26 perusahaan pertambangan yang masuk di Degeuwo. Berdasarkan keterangan warga, mereka yang melakukan penolakan dan perlawanan akan berhadapan dengan aparat.

Tahun 2006, misalnya, terjadi kasus peracunan lewat miras (minuman keras) di lokasi sejumlah lokasi. Atas kejadian ini 6 orang pribumi meninggal. Tahun 2009, terjadi pencaplokan tanah yang berujung pada tuntutan hak wilayah tanah adat di Taijaya kepada Ongge, pemilik salah satu tambang emas. Selang setahun, ditemukan pengedar Narkoba jenis sabu-sabu dalam kemasan di Bandara Nabire dengan tujuan ke Lokasi Degeuwo. 

Pada tahun itu juga PT. Martha Mining beroperasi di lokasi Baya Biru tanpa adanya kesepakatan dengan warga lokal. Tahun 2012, terjadi penembakan oleh aparat yang mengakibatkan 1 orang warga tewas. 

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments