HomeKabar BintuniPelik Nestapa Degeuwo yang Terlupakan di Tengah Pencabutan Izin Pertambangan

Pelik Nestapa Degeuwo yang Terlupakan di Tengah Pencabutan Izin Pertambangan

Ilustrasi Degeuwo. Foto: Istimewa

Di tengah pencabutan 2.078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batu bara oleh Presiden Joko Widodo di awal tahun 2022, kasus kekerasan terus terjadi. Contohnya, kasus sengketa sengketa tanah yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo.

Temuan kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga Desa Wadas oleh Komnas HAM RI menjadi legitimasi bahwa kasus kekerasan kerap terjadi di areal pertambangan. Bahkan, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut hal itu sebagai pola yang selalu digunakan untuk menekan resistensi warga.

Kondisi ini mengingatkan kembali kasus sengketa penambangan emas liar sepanjang sungai Degeuwo Kampung Namowodide Distrik Bogobaida Kabupaten Paniai Papua. Tahun 2012, terjadi penembakan terhadap sejumlah warga yang menolak tambang yang mengakibatkan 1 orang tewas dan lainnya luka-luka. Degeuwo, sarat akan kekerasan dan konflik.

Kabar terakhir dari Degeuwo pada tahun 2019, penambangan ilegal belum berhenti. Berdasarkan keterangan dari Yunus Gobai, tokoh pemuda Paniai dalam suarapapua.com, Pemerintah Daerah terkesan abai dengan kasus ini. Tak hanya emas yang dikeruk habis, sejumlah aktivitas ilegal seperti pengiriman minuman keras, wanita penghibur, karaoke, kekerasan, dan lainnya masih bercokol.

Lantas, apa yang sudah terjadi di Degeuwo? Persoalan ini berawal pada tahun 2001 ketika banyak pihak luar yang hadir untuk melakukan penambangan secara tradisional. Tahun 2003, alat-alat berat masuk dan menjadi cikal bakal dari sejumlah perusahaan tambang yang pada tahun 2014 mencapai 26 perusahaan pertambangan. Antara lain, T Madinah Qurrata’ain, bekerja sama dengan PT West Wist Mining, asal Australia dan PT Martha Mining.

“Warga yang melawan berhadapan dengan aparat. Di-back up TNI dan Polri. Sampai terjadi Brimob menembak warga tewas di tempat,” ungkap Thobias Bagubau, Ketua Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, tahun 2014 lalu di Mongabay.

Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, kasus Degeuwo tak sekadar kekerasan. Berbagai aktivitas ilegal juga turut terjadi. Tahun 2006, misalnya, terjadi kasus peracunan lewat miras (minuman keras) di lokasi sejumlah lokasi. Atas kejadian ini 6 orang pribumi meninggal.

Tahun 2009, terjadi pencaplokan tanah yang berujung pada tuntutan hak wilayah tanah adat di Taijaya kepada Ongge, pemilik salah satu tambang emas. Namun, tuntutan ini tidak digubris. Selang setahun, ditemukan pengedar Narkoba jenis sabu-sabu dalam kemasan di Bandara Nabire dengan tujuan ke Lokasi Degeuwo. Pada bulan Juni di tahun yang sama terjadi penikaman oleh seorang pengusaha karaoke terhadap seorang warga.

Pada tahun itu juga PT. Martha Mining beroperasi di lokasi Baya Biru tanpa adanya kesepakatan dengan warga lokal. Kemudian pada tahun itu pula terjadi pembuatan lapangan terbang di Baya Biru dan pendaratan Pesawat Susi Air yang tidak sesuai dengan Instruksi Dirjen Penerbangan dan Kemenhub RI.

Tahun 2012, terjadi penembakan oleh aparat yang mengakibatkan 1 orang warga tewas. 

Suara Lembaga Pengembagan Masyarakat Adat Suku Walani Mee dan Moni

Lembaga Pengembagan Masyarakat Adat (LPMA) Suku Walani Mee dan Moni sudah lama menunggu langkah serius pemerintah, baik daerah maupun pusat untuk segera menuntaskan apa yang terjadi di Degeuwo. Mulai dari perampasan tanah, perusakan lingkungan, hingga aktivitas ilegal dan kekerasan.

Sejumlah upaya sudah dilakukan untuk mengadvokasi hal tersebut. Misalnya, SK MRP Nomor 540/MRP/2009 tertanggal 05 Agustus 2009 tentang gugatan tambang emas illegal emas Degeuwo atau Surat Kapolres Paniai bernomor B/114/X/2009/Respan, tanggal 22 Oktober 2009 tentang meminta kepada seluruh pengusaha pemilik alat berat supaya mematuhi instruksi Bupati Paniai.

Pemerintah juga sudah beberapa kali memberikan perintah penghentian sementaran aktivitas penambangan. Dalam Instruksi Pemerintah Kabupaten Paniai No. 53 Tahun 2009 tertanggal 27 Agustus 2009 tentang penutupan sementara lokasi penambangan emas sepanjang Sungai Degeuwo, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai dan SK Gubernur No. 1 Tahun 2011 tentang pemberhentian kegiatan pertambangan emas tanpa izin (peti) di seluruh wilayah Provinsi Papua misalnya.

Tahun 2019, Tokoh Pemuda Paniai masih menyuarakan agar pemerintah tidak abai dan lupa terhadap apa yang sudah terjadi di Degeuwo. Mengutip suarapara.com, Yunus Gobai, sebagaimana sebelumnya disebutkan sebelumnya, meminta Pemerintah Daerah untuk tidak melupakan Degeuwo.

“Saya lihat Pemda Kabupaten Paniai sekarang punya banyak gebrakan baru untuk memajukan daerah Paniai. Tapi saya mau ingatkan Pemda jangan lupa dengan masalah Degeuwo. Soalnya sampai sekarang masih bermasalah,” jelasnya.

Lantas, apa kabarnya sekarang? 


Sumber:
Litbang Foker LSM Papua. 2014. Laporan Kisruh di Degeuwo. 

Saturi, Sapariah. 2014. Lahan Adat di Degeuwo Terampas Tambang Emas, Lingkungan Tercemar. Mongabay edisi 13 Juni 2014.

Yogi, Stevanus. 2019. Tokoh Pemuda: Pemda Jangan Lupa dengan Masalah Degeuwo. Suarapapua edisi 5 Juni 2019.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments