HomeKabar BintuniPembangunan Smelter Tembaga di Papua Barat Adalah Soal Hak Masyarakat

Pembangunan Smelter Tembaga di Papua Barat Adalah Soal Hak Masyarakat

Potongan somasi Masyarakat adat Mbaham Matta Fakfak kepada Menteri Investasi

Tahun 2021 lalu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melakukan kerja sama dengan China ENFI Engineering Corporation (ENFI) dalam Nota Kesepahaman tentang Proyek Peleburan (Smelter) Tembaga. Kendati demikian, proyek ini berubah tempat dari rencana awal, yakni di Fafak Papua Barat.

Proyek yang melibatkan PT Freeport dan PT Mineral Industri Indonesia ini mulai dibangun di Gresik, Jawa Timur pada 12 Oktober 2021 lalu. Juru bicara PT Freeport Indonesia sebagaimana dikutip dari CNBC edisi 28 Oktober 2021 menerangkan sejumlah alasan mengapa pembangunan smelter tembaga itu dipindah ke Jawa.

Pertama, pertimbangan ongkos pembangunan smelter. Menurut pihaknya, biaya pembangunan smelter akan jauh lebih mahal ketimbang dibangun di Jawa. Kedua, ketersediaan industri pengolah limbah di Jawa. 

Atas keputusan ini, proyek ini menuai protes dari masyarakat Fakfak, Papua Barat. 

Melalui Haris Azhar Partner and Law Firm, Masyarakat adat Mbaham Matta Fakfak melayangkan somasi pada Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Investasi/BKPM. Dalam somasi tersebut terdapat 2 tuntutan:

Pertama, pengembalian rencana dan pelaksanaan pembangunan peleburan tembaga di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Kedua, mewajibkan untuk melanjutkan pelaksanaan pembangunan peleburan tembaga di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat.

Berdasarkan analisa Haris Azhar Partner and Law Firm pembangunan smelter tembaga ini adalah hak masyarakat Fakfak. Hal ini dilandasi oleh beberapa alasan. Pertama, pembatalan pembangunan proyek smelter tembaga merugikan masyarakat Fakfak dan pemerintah daerah.

Kedua, bahwa proyek ini termasuk ke dalam hak masyarakat Fakfak dalam hal pemanfaatan sumber daya alam dan pengolahan lanjutan. Hal ini mengacu pada Pasal 38 dan Pasal 29 Undang-undang 21 Nomor 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Pasal ini secara gamblang menjelaskan bahwa pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan di Provinsi Papua Barat dilaksanakan dalam rangka membangun kesejahteraan seluruh rakyat Papua.

Termasuk dalam hal ini pembangunan smelter tembaga sebagai wujud dari pemanfaatan dan pengolahan lanjutan sumber daya untuk menunjang perekonomian masyarakat Papua Barat. 

Ketiga, bahwa Negara wajib menciptakan kesejahteraan rakyat sebagai pemilik kekuasaan. Dalam konteks pembangunan smelter termbaga, hal ini termaktub dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 soal penguasaan sumber daya mineral dan batu bara oleh pemerintah. Dalam pasal tersebut, negara wajib menggunakan kekayaan mineral dan batu bara untuk kemakmuran rakyat.

Dalam somasinya, Haris Azhar Partner and Law Firm menyebut dalam konteks ini  Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Investasi/BKPM telah mengabaikan tugasnya sebagai Menteri Investasi untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Secara khusus, mengabaikan asas dan tujuan pertambangan mineral sebagaimana mengacu pada pasal di atas.

Keempat, Bahlil selaku Menteri Investasi telah lalai dalam janjinya menciptakan lapangan kerja lantaran proyek smelter tembaga di Fakfak batal dibangun. Pembatalan proyek tersebut, dalam somasi yang dilayangkan oleh Masyarakat adat Mbaham Matta, menghambat peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan daerah.

Inkonsistensi, Tidak Jujur, dan Cederanya Kepercayaan Masyarakat Fakfak

Inkonsistensi dan penipuan menjadi kata kunci dalam somasi yang dilayangkan oleh Masyarakat adat Mbaham Matta, Papua Barat. Dalam somasinya, Bahlil selaku Menteri Investasi, selain dinilai inkonsisten, dinilai tidak bersikap jujur atau fraud dalam hal pembangunan smelter tembaga.

Pertama, jika pembangunan dilakukan di Gresik, Jawa Timur, maka masyarakat Papua tidak mendapatkan timbal balik yang maksimal dari eksplorasi yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia sejak 1967. Ini menunjukkan bahwa Bahlil tidak menunjukkan itikkad baik dengan tidak mempertimbangkan hal tersebut.

Hal ini didukung oleh inkonsistensi menteri Investasi tersebut kala memutuskan untuk melakukan pemindahan proyek pembangunan serta sejumlah hal lainnya. Misalnya, menyebut bahwa kesepakatan pembangunan smelter PTFI di Gresik sudah diputuskan sejak tahun 2017. Padahal, tahun 2021 Bahlil menyebut akan membangun smelter di Fakfa, Papua Barat.

Kedua, keputusan Bahlil membangun smelter di Papua menunggu sisa kapasitas produksi tembaga PTFI dinilai bertentangan dengan Otsus. Menteri Investasi menyebut akan bahwa nantinya kapasitas produksi tembaga Freeport dari tambang Grasberg di Papua ditambah menjadi 3,8-4 juta ton per tahun. Kelebihan produksi ini nantinya yang akan digarap oleh smelter baru.

Apabila demikian, dalam somasi, maka terdapat indikasi bahwa Bahlil akan meningkatkan eksplorasi di tanah Papua dan menikmati proses lanjut di Jawa melalui smelter baru di Gresik. 

Sejumlah hal itu, menurut Haris Azhar, telah mencederai kepercayaan masyarakat Fakfak, Papua Barat terhadap pemerintah Pusat. Diketahui bahwa Pemerintah Daerah beserta warga Fakfak menyambut baik itikad pembangunan smelter. Namun nyatanya, kenyataan tak sesuai dengan janjinya.

Padahal, dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjelaskan pentingnya percepatan pembangunan kesejahteraan. Lantas, apa alasan sebenarnya pemindahan proyek smelter ke Gresik?

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments