HomeKabar BintuniSejarah Krisis Moneter Indonesia Tahun 1960-an: Apakah Karena Proyek Pembangunan?

Sejarah Krisis Moneter Indonesia Tahun 1960-an: Apakah Karena Proyek Pembangunan?

Ilustrasi monas masa lalu. Foto: pixabay

Ada ungkapan menarik dari Thee Kian Wie, seorang orang pakar ekonomi dan peneliti senior, tentang krisis moneter di Indonesia tahun 1960-an. Ia mengatakan bahwa kadang, tujuan ekonomi sering dicampuradukkan dengan tujuan politik kebudayaan. 

Thee Kian Wie menyebut, Soekarno saat itu mementingkan perencanaan terpusat, kendali ketat terhadap perdagangan luar negeri, dan kemerdekaan ekonomi sepenuhnya, namun rencana ini dianggap tidak realistis.

“Ambisius dan tidak realistis,” ungkap Thee Kian Wie.

Hal ini bermula saat pemerintah mementingkan manuver politik ketimbang keseimbangan ekonomi. Manuver politik yang dilakukan oleh pemerintah terwujud ke dalam sejumlah keputusan. Pertama, Operasi Trikora pembebasan Irian Barat dari Belanda. Kedua, Operasi Dwikora ihwal kampanye ganyang Malaysia. 

Tidak hanya operasi militer, sejumlah proyek pembangunan dan program dinilai kurang pas. Misalnya, pembangunan Masjid Istiqlal, stasiun TVRI, Monumen Nasional, dan Stadion Gelora Bung Karno.

Seluruh kegiatan ini membuat pengeluaran negara tidak karuan. Utang luar negeri membengkak seiring berjalannya proyek pemerintah itu. Akhirnya, keuangan Indonesia defisit. Hal ini semakin parah kala nilai ekspor Indonesia turun dan produktivitas aset rendah. Dalam kurun waktu 5 tahun, keuangan Indonesia terjun bebas ke jurang krisis. Bayangkan, mulanya, defisit negara pada tahun 1961 mencapai angka 42 persen.

Dalam waktu 5 tahun defisit Indonesia melonjak hingga 4 kali lipat, yakni pada angka 163 persen. Secara umum, perekonomian Indonesia hancur karena hutang dan inflasi. Hal ini menyebabkan Rencana Delapan Tahun 1960 Soekarno tak berjalan dengan baik.

Lantas, apakah krisis moneter tahun 1960 hanya karena proyek ekonomi berbau politik saja? 

Kepentingan Politik Berbulu Ekonomi

Thee Kian Wie sebelumnya menyebutkan bahwa pemerintah kala itu ambisius namun tidak realistis. Pemerintahan Soekarno menggunakan sistem ekonomi terpimpin yang merupakan turunan dari Demokrasi Terpimpin. Sistem ini mengharuskan negara untuk “memimpin” ekonomi nasional melalui dibentuknya jalur-jalur pengaturan dan komando yang tegas terhadap sektor-sektor utama.

Sistem ekonomi ini menurut Mohammad Hatta, “Rakyat tidak lagi berekonomi, melainkan mengerjakan ekonomi menurut perintah dan disiplin.”

Sayangnya, proyek-proyek yang dinilai memajukan perekonomian Indonesia justru tidak tepat sasaran. Hal ini karena pemerintah banyak mengeluarkan uang untuk proyek non-ekonomi. Proyek non-ekonomi ini sudah dijelaskan sebelumnya seperti Operasi Trikora pembebasan Irian Barat dari Belanda dan Operasi Dwikora ihwal kampanye ganyang Malaysia. Kemudian, proyek pembangunan Masjid Istiqlal, stasiun TVRI, Monumen Nasional, dan Stadion Gelora Bung Karno juga sarat politik, bukan soal ekonomi. 

Strategi yang dilakukan pemerintah kala itu dalam menanggapi krisis dinilai kurang tepat. Pemerintah mengambil alih wewenang Bank Indonesia menjadi lembaga pemerintahan yang sebelumnya, Bank Indonesia adalah lembaga Independen. Tujuannya adalah yakni mencetak uang sebanyak-banyaknya.

Keputusan ini justru mendorong Indonesia jatuh dalam jurang krisis ekonomi. Lantaran mencetak uang secara masal jumlah uang yang beredar tak terkontrol. Ini menyebabkan hiperinflasi karena tingkat inflasi mencapai 594 persen. Hasilnya? Harga barang melonjak, rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok.

Jumlah inflasi di tahun 1960-an lebih tinggu dari jumlah inflasi di krisis moneter tahun 1998. Jika dihitung, jumlahnya bisa 8 kali lebih besar. Hiperinflasi itu menyebabkan masyarakat takut menabung karena uang sudah tak ada harganya. Kemudian, banyak mereka yang akhirnya membelanjakan uang mereka karena takut nilainya terus turun.

Sumber:
Raditya, Iswara N. 2018. Krisis Ekonomi 1960-an: Sanering Gagal, Sukarno Dilengserkan. Tirto edisi 11 September 2018
Hanggoro, Hendaru Tri. 2020. Krisis Ekonomi Masa Sukarno. Historia edisi 9 April 2020.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments