Bagi Frans, kata Papua tak lain hanyalah sebuah penghinaan bagi masyarakatnya.
Papua berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting. Sebuah nama yang menggambarkan ciri fisik dari masyarakat yang tinggal di wilayah timur Indonesia itu. Frans, seorang putra keturunan Negeri Janggi itu. Satria mandala yang menganggap kata ‘Papua’ tak lain hanyalah sebuah hinaan fisik bagi saudara-saudaranya.
Dalam ‘Seakan Kitorang Setengah Binatang’ karya Filep Karma, Frans menganggap kata ‘Papua’ adalah hinaan yang dilontarkan oleh orang Ambon, Ternate, Sangir, Manado, dan suku Melayu terhadap orang Papua.
Frans tidak tinggal diam. Mengetahui saudaranya dihina dengan kata itu, ia pun memikirkan nama lainnya yang cocok untuk menggantikan sebutan itu. Pada tahun 1945, saat Frans tengah bersekolah di Papua Bestuur School, ia berulah. Bulan terakhir ia bersekolah di sana, ia menyuruh adiknya, Marcus Kaisiepo, mengganti nama Papua Bestuur School dengan Irian Bestuur School. Kata Irian berasal dari kata irarian yang memiliki makna berjemur atau terpapar sinar matahari. Bagi Frans, ini lebih baik ketimbang Papua.
Frans Kaisiepo merupakan salah satu tokoh pahlawan Indonesia yang wajahnya disematkan dalam uang kertas. Sebagai salah satu pahlawan Indonesia, Frans adalah orang Papua yang bersikeras untuk menyebut saudaranya dengan sebutan Irian. Tentu tak hanya itu saja sumbangsih yang ia berikan kepada saudaranya di Papua. Pada tahun 1946, Frans mendirikan Partai Indonesia Merdeka. Pada tahun 1964, ia menjadi Gubernur Irian Barat dan tahun 1973 menjadi Anggota Hakim Tertinggi Dewan Perimbangan Agung.
Geliatnya dalam memperjuangkan saudaranya dan Indonesia berliku. Tahun 1954 hingga 1961, ia disekap sebagai tahanan politik karena menolak mewakili Belanda untuk Nugini dalam Konferensi Meja Bundar di Belanda. Namun semangatnya tak juga padam. Hal ini terlihat dari upayanya untuk menggabungkan wilayah Nugini sebagai NKRI pasca ia menjadi tahanan politik. Ia merupakan salah satu tokoh yang berjasa dalam bergabungnya Irian Barat dengan Indonesia. Ia melindungi para sukarelawan yang melakukan infiltrasi ke wilayah Irian Barat.
Hanya dari merenungkan sebuah nama, Frans, berpegang teguh pada nama Irian yang ia sematkan untuk saudara-saudaranya. Nama Irian memperlihatkan semangat juang, persatuan, dan penolakan keras terhadap Belanda. Ia ingin menghapus sebuah kenistaan, sebuah penghinaan bagi saudaranya, dimulai dari memberikan nama yang baik. Meski namanya kembali menjadi Papua, tapi kearifannya untuk mengubah stigma buruk itu membuahkan persatuan.
Dari sana, kita belajar sebuah arti sebuah perjuangan bahwa apa yang diperjuangkan tak mesti berakhir sama dengan apa yang dibayangkan. Karena apa yang dibayangkan belum tentu sebaik apa yang sebenarnya terjadi.
Di Balik Frans Idealisme Kaisiepo
“Kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan dari segenap rakyatnya. Melalui Soegoro, lahir tokoh lokal dan elit Papua seperti Frans Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Marthen Indey, Corinus Krey, Silas Papare, Baldus Mofu, O. Manupapami, dan Herman Wajoi. Ialah pahlawan nasional Indonesia.”
Ia adalah Soegoro Atmoprasodjo, seorang pendidik yang berjasa bagi masyarakat Papua. Lahir di Yogyakarta pada tahun 1923, masa muda Soegoro dihabiskan menimba ilmu di Taman Siswa besutan Ki Hadjar Dewantara. Saat pemberontakan Partai Komunis Indonesia terhadap Belanda pecah, Soegoro dituduh turut mengambil peran. Alhasil, pada tahun 1935 ia dibuang ke Digul, Tanah Merah, Papua, bersama sejumlah tokoh lainnya.
Memasuki pendudukan Jepang di Indonesia, Belanda membawa Soegoro ke Australia. Dari sana, timbul rasa percaya Belanda terhadap pendidik asal Yogyakarta ini. Dianggap loyal, setelah masa penjajahan Jepang selesai, Belanda mempekerjakan Soegoro di di Sekolah Pamong Praja, Papua. Sekolah di mana pemuda Papua dididik untuk menjadi pegawai Pemerintah Belanda.
J.P.K. van Eechoud, residen Papua sekaligus pendiri Sekolah Pamong Praja, menaruh kepercayaannya pada Soegoro sebagai pengajar dan direktur asrama di Sekolah Pamong Praja, Papua. Melalui posisi tersebut, Soegoro menanamkan benih-benih nasionalisme kepada murid-muridnya, antara lain Frans Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Marthen Indey, Corinus Krey, Silas Papare, Baldus Mofu, O. Manupapami, dan Herman Wajoi.
“Soegoro sangat dipercaya oleh Van Eechoud dan dianggap loyal kepada Belanda sehingga diangkat menjadi direktur pertama Sekolah Pamong Praja di Hollandia,” tulis Bernarda Meteray dalam Nasionalisme Ganda Orang Papua, melansir dari historia.id.
Bukan harta, tahta, atau wanita yang diinginkan oleh Soegoro. Ia ingin merdeka dari jajahan Belanda. Pria kelahiran Yogyakarta ini bisa saja hidup mewah dan damai di bawah naungan pemerintahan Belanda. Posisi strategisnya di Sekolah Pamong Praja mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, jika bukan karena kerinduannya pada kemerdekaan, ia tak akan melepas jabatannya itu.
Saat ditahan di Penjara Tanah Merah, Merauke, ia berhasil kabur. Dari Sungai Digul, hingga ke Australia, pelarian Soegoro begitu mencekam. Sungai Digul terkenal akan keganasan buayanya, belum lagi menempuh perjalanan nan jauh dari Papua Nugini hingga ke Australia. Namun, setibanya di negara kangguru itu, ia disambut oleh rekan seperjuangannya saat ia diasingkan di Digul, Tanah Merah, yakni Mohamad Bondan.
Apakah upaya pemberontakannya dapat dikatakan gagal? Meski ia tak sempat melancarkan aksi pemberontakan, khitahnya dilanjutkan oleh pemuda-pemuda didikannya, yakni Frans Kaisiepo dan Marthen Indey. Kedua orang itu dinobatkan menjadi tokoh pahlawan Papua, di samping 2 tokoh lainnya. Ia mampu menuntaskan tugasnya sebagai seorang pendidik, yakni menelurkan anak muda yang berbakti pada bangsa, negara, dan warga.
Sumber:
Sitompul, Martin. 2017. Frans Kaisiepo, Jejak Langkah Putra Irian. Historia edisi 10 Oktober 2017.
_____________. 2015. Soegoro Atmoprasodjo, Orang Pertama yang Memperkenalkan Nasionalisme Indonesia di Papua. Historia edisi 12 Agustus 2015.