Manokwari, 22 Januari 2025 – Plt. Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti, Melkianus Indouw, SH., menyoroti proses penjadwalan sidang praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari yang dianggap tidak sesuai asas peradilan cepat. Hal ini menyusul sidang praperadilan yang telah didaftarkan melalui e-Court pada Januari 2025, dengan bukti gugatan yang sudah diperbaiki dan diterima.
“Kami telah menerima relas panggilan sidang dari PN Manokwari, namun sangat disayangkan jadwal sidang dimajukan ke tanggal 6 Februari 2025. Ini waktu yang lama untuk sidang praperadilan, yang seharusnya dilaksanakan secara cepat sesuai asas peradilan cepat,” ungkap Melkianus Indouw, Senin (22/1).
Melkianus menegaskan, gugatan praperadilan diajukan karena pada tahapan hukum acara, tersangka tidak menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). “Tidak diterimanya SPDP oleh tersangka membuat semua proses berita acara penetapan tersangka cacat demi hukum. Ini adalah pelanggaran serius terhadap asas legalitas dalam proses peradilan pidana,” ujarnya.
Selain itu, Melkianus juga menyoroti telah adanya perdamaian antara pelaku dan korban yang sudah diselesaikan secara adat, namun pihak kepolisian enggan untuk melihat hal ini. “Ini menjadi salah satu alasan kami mengajukan prapid, hukum itu tidak lettelijk saja, tapi juga melihat kondisi dan perkembangan hukum pada hari ini. Contohnya kasus Bripda S di Sulsel yang dituduh memperkosa, yang kemudian di-PTDH. Bripda S kemudian menikahi korban, sehingga PTDH Bripda S akhirnya dicabut di tingkat banding, dan berdinas kembali. Nah, ini kenapa di kasus kami tidak bisa diperlakukan sama? Keluarga korban saja sampai heran dengan kepolisian,” ungkapnya.
Lebih lanjut, YLBH Sisar Matiti mengkritisi bahwa sidang praperadilan yang dijadwalkan jauh melampaui harapan pencari keadilan menjadi penghalang bagi pemulihan hak-hak tersangka.
Pasalnya, tersangka dalam kasus ini sudah diserahkan kepada kejaksaan, yang kemungkinan besar akan segera berkoordinasi dengan pengadilan untuk pelimpahan berkas perkara guna disidangkan.
“Kami mempertanyakan bagaimana nasib gugatan praperadilan yang telah kami ajukan. Apalagi, penyerahan tahanan ke kejaksaan dilakukan tanpa didampingi pengacara. Kami menduga ada upaya pemaksaan dari pihak kepolisian dalam menyerahkan tahanan dan barang bukti ke kejaksaan,” tegas Melkianus.
Atas dasar ini, YLBH Sisar Matiti meminta Ketua PN Manokwari, Pengadilan Tinggi Papua Barat, serta Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung untuk memeriksa panitera, juru sita, dan pihak PN Manokwari terkait penjadwalan sidang yang dinilai tidak efektif.
“Kami juga meminta Propam Polda Papua Barat untuk memeriksa penyidik pada Reskrim Teluk Bintuni. Proses ini menunjukkan adanya potensi pelanggaran serius terhadap hak-hak hukum tersangka,” lanjut Melkianus.
YLBH Sisar Matiti berharap penegak hukum di Papua Barat dapat menjunjung tinggi asas keadilan, memberikan ruang yang layak bagi proses hukum yang berjalan, serta memastikan hak-hak tersangka terlindungi.