Kantor Hukum dan HAM Lokataru, dalam rilis persnya menyatakan telah mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota (UU Pilkada).
Judicial Review ini menurut mereka, merupakan ikhtiar masyarakat yang bertujuan untuk mencegah akumulasi kekuasaan yang sangat besar di tangan Pemerintah, khususnya Presiden dan Menteri Dalam Negeri. Selain itu, juga untuk mengembalikan adanya fungsi check and balance dalam sistem kekuasaaan negara, dan memulihkan hak partisipasi dan hak politik masyarakat dalam ikut menentukan masa depan pemerintahan dan negara yang demokratis, menjunjung tinggi prinsip negara hukum (rule of law) dan hak asasi manusia.
Pada rilisnya, Lokataru berpendapat bahwa penunjukan langsung oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) akan menghilangkan ruang kompetisi politik yang sehat dan adil.
Khususnya untuk Papua dan Papua Barat, dengan adanya penunjukan ini, merupakan bentuk diabaikannya UU Otonomi Khusus (Otsus), UU Pemerintahan Daerah dan mengabaikan kekhususan tanah Papua. Pilar-pilar yang dibentuk dan dirancang untuk memberikan pengakuan terhadap peran Majelis Rakyat Papua, DPR Papua, dan Dewan Adat yang merupakan representasi Orang Asli Papua (OAP) digerus oleh UU Pilkada ini.
Dalam judicial reviewnya, Lokataru menggugat khususnya Pasal 201 ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada). Dimana pasal-pasal tersebut memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Pemerintah, khususnya Presiden dan Menteri Dalam Negeri.
Sebagaimana disampaikan di dalam rilis tersebut pula, Lokataru menganggap kekuasaan besar yang dipegang oleh Presiden dan Mendagri ini ibarat cek kosong, yang berpotensi menimbulkan risiko terciptanya pemerintahan yang authoritarian, dan hilangnya fungsi check and balance dalam pilar sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang demokratis.
Langkah menggugat UU Pilkada ini adalah untuk memulihkan hak-hak konstitusional warga negara dan untuk mencegah risiko ancaman terhadap supremasi negara hukum demokratis. Maka Mahkamah Konstitusi dituntut agar menyatakan ketentuan penunjukan langsung sebagai penunjukan inknstitusional.
Yang mana penjukan langsung ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, pemilihan secara demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4) UUD NRI 1945, dan Jaminan, Persamaan dan Kepastian Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, serta aturan hubungan wewenang pusat dan daerah yang harus memperhatikan kekhususan dan Keragaman daerah sebagaimana dijamin Pasal 18 A UUD NRI 1945, atau setidak-tidaknya menyatakan konstitusional bersyarat yakni dengan memberikan penafsiran atas prasa “ditunjuk” dengan menekankan pada kondisi-kondisi atau persyaratan-persyaratan (conditionalities) yang sesuai dengan konsep negara hukum demokratis sebagaimana diatur dalam UUD 1945, dimana kedaulatan rakyat adalah yang utama.