HomeKabar BintuniParadoks Pemekaran DOB Papua: Demi Kesejahteraan yang Mana?

Paradoks Pemekaran DOB Papua: Demi Kesejahteraan yang Mana?

Ilustrasi penolakan rencana pemekaran DOB Papua. Foto: Google

Pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud menyampaikan bahwa rencana pemekaran daerah otonomi baru (DOB) Papua menyebut bahwa keputusan ini diambil berdasarkan kepentingan strategis nasional. Menurut Mahfud, pemekaran DOB Papua akan membantu mengokohkan NKRI, juga masalah percepatan pembangunan kesejahteraan masyarakat.

“Selain pertimbangan kepentingan strategis nasional dalam rangka mengokohkan NKRI, juga masalah percepatan pembangunan kesejahteraan masyarakat serta memelihara citra positif Indonesia di mata internasional,” kata Mahfud tahun 2021 lalu.

Hal ini turut dijelaskan dalam Siaran Pers No: 200/SP/HM.01.02/POLHUKAM/11/2021 oleh Kementerian Koordinator Bidang, Politik, Hukum dan Keamanan keputusan pemekaran DOB Papua dan Papua Barat merupakan aspirasi rakyat dan atas pertimbangan kepentingan strategis nasional dalam rangka mengokohkan NKRI.

Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani lebih lanjut menjelaskan bahwa pemekaran DOB Papua dan Papua Barat nantinya diharapkan mampu memeratakan pembangunan di daerah tersebut. Sebagai contoh, ungkap Jaleswari, pelayanan umum, kependudukan, dan pelayanan lainnya yang selama ini terpusat hanya di ibu kota Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dapat dibangun dan disebar di ibu kota provinsi-provinsi baru.

“Kebijakan ini dilakukan sebagai upaya pemerataan pembangunan dan pelayanan di wilayah yang memiliki luas hampir empat kali lipat Pulau Jawa ini,” kata Jaleswari dalam siaran pers pada Jumat (11/3/2022).

Kendati demikian, timbul paradoks antara apa yang disebutkan oleh pemerintah dengan kajian yang dilakukan oleh Tim Kajian Pemekaran Provinsi Papua dari Universitas Cendrawasih. Dalam kajiannya, mereka menemukan sejumlah persoalan yang dinilai bertolak belakang dengan tujuan yang disampaikan oleh pemerintah.

Pertama, menurut Prof. Melkias Hetaria anggota Tim Kajian Pemekaran Provinsi Papua dari Universitas Cendrawasih, pemekaran Papua dan Papua Barat tidak memiliki kelayakan dari sisi keuangan dan ketergantungan berlebih ke pemerintah pusat. Hal ini mengacu pada data bahwa masih banyak kabupaten dengan kontribusi PAD ke APBD yang masih di bawah 50 persen. 

“Dari sisi APBD dan pendanaan tidak memenuhi syarat. Begitu juga dengan provinsi dengan kabupaten/kota hanya mengandalkan pusat lewat dana alokasi umum dan dana alokasi khusus,” katanya.

“Logikanya, kalau tidak memenuhi syarat meski sudah dimekarkan, maka dikembalikan ke induknya. Pasti akan sangat berat kalau dikembalikan. Karena mau tak mau ada pembangunan meski sedikit,” ujar sambungnya.

Pasalnya, saat ini masih terdapat kabupaten dengan kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) ke APBD yang sangat minim, bahkan di bawah 1 persen. Kabupaten tersebut antara lain Sarni 0.3 persen dari APBD, Puncak 0.9 persen dari APBD, Dogiyai 0.5 persen dari APBD dan lainnya. 

Selanjutnya, Tim Kajian Pemekaran Provinsi Papua menyebutkan persoalan berikutnya adalah minimnya partisipasi Orang Asli Papua. Hal ini disampaikan oleh direktur ELSAM Papua, Matheus Adadikam. Ia mengatakan bahwa proses pembahasan DOB berjalan timpang  dan dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat, tanpa melibatkan masyarakat. Hal inilah yang memicu banyaknya demo penolakan DOB serta potensi konflik horizontal yang mana menjadi persoalan berikutnya dalam rencana pemekaran.

Dalam Laporan yang berjudul Carving Up Papua: More Districts, More Trouble yang ditulis oleh Sidney Jones menjelaskan bahwa pemekaran berpotensi menciptakan konflik horizontal. Laporan tersebut menjelaskan bagaimana pemekaran Kabupaten Nduga tahun 2008 bersama 4 Kabupaten lain menyebabkan konflik yang hingga saat ini masih kerap terjadi.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments