
Dulu, Kampung Haimaran dikenal sebagai kampung yang asri, dikelilingi hutan pohon merbau yang lebat. Selain terkenal dengan hutan pohon merbaunya, kampung ini terkenal akan Kali Sekak dengan airnya yang bening mengalir hingga ke muara di Kampung Konda, bertemu dengan Kali Kaibus dan Kali Worongge. Namun, semuanya berubah akibat pembalakan hutan yang dilakukan oleh PT Bangun Kayu Irian (BKI).
Berdasarkan pengakuan warga, meski PT BKI memiliki Rencana Kerja Tahunan (RKT), namun pada praktiknya mereka melakukan secara asal-asalan. PT BKI mengutamakan kayu pohon merbau saja, namun tanpa memperdulikan aturan dan budaya warga setempat. buldozer masuk dan beraktivitas dil uar blok tebangan yang disepakati yang berdampak pada penggusuran, perobohan dan perusakan tanaman lain.
PT BKI juga melakukan penimbunan kayu yang tidak sesuai ukuran ke dalam tanah, bahkan membiarkannya hingga lapuk. Tak hanya itu, PT BKI juga melintasi dan merobohkan hutan tempat keramat dan kampung-kampung tua, menghancurkan habitat tempat hidup hewan dan tanaman penting.
Berdasarkan penilaian masyarakat adat Haimaran, berikut wilayah yang terdampat berdasarkan kategorinya (rusak parah; rusak parah dan terdegradasi:
- Kondisi Hutan Rusak Parah: Distrik Kais Darat: Kampung Haimaran, Mogatemi; Distrik Wayer: Waigo, Wardik, Bagaragar; Distrik Kais: Siranggo, Itigah, Sabusan dan Distrik Moswaren: Kampung Moswaren, Jaksiro.
- Kondisi hutan rusak dan terdegradasi: Distrik Kais Darat: Kampung Mukamat, Makaroro, Onimsefa, Ikana; Distrik Aitinyo: Kamro, Karsu; Distrik Moswaren: Hararo, Distrik Kais: Hore-hore, Kisor, Fuok dan Yaksoro.
Menurut Kepala Kampung Haimaran, Thomas Baho, PT BKI telah melakukan penanaman kembali. Hanya saja, tidak sesuai dengan apa yang telah mereka renggut. PT BKI menanam kembali pohon kayu putih, dan bukan kayu merbau. Ini menyebabkan kayu merbau menjadi sangat sulit untuk diperoleh di Haimaran. Terlebih, kayu ini dinilai sudah berumur ratusan tahun.
Dalam sebuah Focus Group Discussion yang dilakukan oleh peneliti, Franky Y. L., mengatakan ada beberapa sebab yang. Masyarakat Haimaran tidak mampu melakukan apa-apa disebabkan oleh beberapa hal:
- Masyarakat tidak mengetahui aturan hukum pemerintah dan faktanya tidak adil;
- Uang menentukan dan merubah aturan;
- Masyarakat tidaktahu mau dibawa kemana permasalahan mereka, karena keluhan mereka tidak pernah diurus dan dipenuhi;
- Masyarakat masih trauma dan takut dengan peristiwa di masa lalu, intimidasi dan tekanan yang dilakukan penguasa dan aparat keamanan;
- Masyarakat masa bodoh, pesimis, pasrah, tidak kompak dan terpecah belah dalam menyikapi dan menghadapi perusahaan.
Terlebih, masyarakat diminta menerima saja untuk kegiatan pembalakan kayu di wilayah adat mereka lantaran pengusaha pembalak kayu berdalih telah memiliki surat izin dari pemerintah. Atas dasar tersebut, perusahaan diduga memiliki wewenang untuk menggunakan aparat keamanan (TNI dan Brimob) untuk melakukan pengamanan–intimidasi hingga tindakan kekerasan.
Ketika Kewajiban Perusahaan Tidak Terpenuhi
Kompensasi bagi masyarakat kampung yang terdampak merupakan hak mereka. Tahun 2012, Maksi Baho yang merupakan warga Haimaran meminta uang kompensasi. Alih-alih mendapatkan pemenuhan haknya, ia pulang babak belur. Atas hal ini, tokoh masyarakat dan pemerintah kampung sepakat memberikan sangsi denda adat kepada perusahaan dengan jumlah uang Rp. 50 juta. Perusahaan hanya membayar Rp. 10 juta untuk kerugian yang diterima Baho namun tidak ada kabar untuk sisanya.
Soal kompensasi, ini menjadi alat perusahaan untuk menawar hak masyarakat dan memuluskan kepentingan perusahaan memperoleh pengakuan untuk pengurusan izin pembalakan kayu. Tahun 1996 saat manajemen BKI dikelola oleh Korea, nilai kompensasi harga kayu merbau yang diberikan sebesar Rp. 1.000 perkubik.
Tahun 2011, ada peningkatan menjadi Rp. 25.000 perkubik. Tahun 2015, nilai kompensasi kayu merbau sebesar Rp. 100 ribu perkubik dan jenis kayu putih campuran Rp. 30 ribu. Harga ini berbeda jika warga menebang kayu sendiri dan menjual kepada pengusaha (dari kota Teminabuan, utamanya kontraktor Hi. M). Harga penjualan kayu pribadi tersebut bervariasi tergantung kondisi jalan dan jarak.
Harga bersih dari jenis kayu besi dengan jalan yang buruk dan jarak jauh Rp. 400 per kubik, jika kondisi jalan mudah diakses Rp. 1,5 juta per kubik. Konon pengusaha lokal membawa kayu olahan tersebut ke Surabaya dan pasar lokal di Teminabuan. Nilai tersebut tidak sebanding dengan nilai kayu di pasar lokal. Ini belum termasuk kerugian yang dialami oleh warga akibat berkurangnya sumber makanan dan penghasilan dari dalam hutan serta lingkungan yang rusak.
Saat ini, warga kesulitan mendapatkan hewan buruan, tanaman dan sumber pangan dalam hutan. Tanaman kebun diserang hama dan hewan liarmerusak hasil kebun. Selain itu, laporan tersebut juga menyebutkan kerap terjadi percekcokkan dan disharmoni antara warga dalam kampung, antara marga dan antara warga kampung lantaran program pengembangan ekonomi perusahaan dan kompensasi.
Sumber:
Y.L, Franky. Tergusur Pembangunan Kayu Irian. Academia