HomeKabar BintuniNapak Tilas Sejarah Gejolak Papua 15 Tahun Lalu

Napak Tilas Sejarah Gejolak Papua 15 Tahun Lalu

Ilustrasi Papua Merdeka. Foto: BBC

September tahun 2006, terdapat pendapat menarik dari seorang profesor Dewi Fortuna. Beliau adalah seorang peneliti, ilmuwan terkemuka Indonesia. Beliau pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Ilmu Sosial dan Humaniora di The Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2001-2010.

Profesor Dewi Fortuna yang juga merupakan guru besar ilmu Politik di Universitas Indonesia juga sempat membahas permasalahan di timur Indonesia, Papua. Menurutnya, sejarah Papua adalah sejarah Indonesia juga.

Dalam artikelnya yang dimuat oleh Perspektif Baru tahun 2006, Prof Dewi Fortuna menyebut kaitan sejarah Indonesia dengan sejarah Papua.

Menurutnya, Indonesia tak pernah menganggap Papua sebagai bagian dari luar Indonesia. Ini merujuk pada sejarah penjajahan Belanda pada Hindia Belanda. Dalam era kolonialisme, Aceh merupakan ujung paling Barat dan Papua adalah ujung Timur wilayah penjajahan tersebut.

“Indonesia tidak pernah meragukan bahwa Indonesia berhak terhadap Irian Barat karena kita berprinsip bahwa Indonesia itu tidak lebih dan tidak kurang daripada bekas wilayah Hindia Belanda, dan Irian Barat itu adalah bagian dari Hindia Belanda,” ungkap Dewi Fortuna, mengutip dari situs LIPI, 2006.

Irian atau Papua, merupakan isu penting Indonesia kala itu. Bahkan, isu penting dunia. Indonesia mengklaim Papua sebagai bagian darinya atas dasar sejarah kaum kolonial. Salah satunya, pengasingan tokoh kemerdekaan ke Boven Digoel, Papua.

“Bagi Indonesia, Irian Barat itu memiliki makna juga karena jangan lupa tokoh-tokoh nasionalis kita dibuang ke Boven Digul. Jadi bagi kita itu sudah melahirkan suatu ikatan emosional,” jelasnya.

Klaim ini berlaku juga pada Aceh dan wilayah jajahan Belanda lainnya. Seluruh wilayah jajahan Belanda merupakan warisan Hindia Belanda yang mana akan menjadi bagian Indonesia ketika Indonesia merdeka.

Itu sebabnya Kalimantan bagian Utara dan Timor tidak menjadi bagian Indonesia meski Timor pernah menjadi bagian dari Indonesia. Karena, kedua wilayah tersebut merupakan wilayah jajahan Inggris dan Portugis. 

Dengan kata lain, upaya pembebasan Irian oleh Indonesia sejak tahun 1950-an merupakan wujud dari ikatan emosional tersebut.

Hubungan Indonesia-Papua: Abai di Timur, Barat Makmur

Namun faktanya, kini pembangunan nampak lebih terfokus pada wilayah barat Indonesia. Sedangkan, wilayah timur kian tertinggal. Seolah-olah, Indonesia hanya melirik kekayaan alam Papua saja dan mengabaikan masyarakatnya.

Terkait masalah tersebut, Dewi Fortuna mengatakan ini adalah masalah yang patut pemerintah perhatikan. Jika tidak, ini justru akan menjadi bom waktu bagi Indonesia sendiri. 

“Yang kita inginkan adalah jangan sampai masyarakat Papua merasa seolah-olah mereka itu alien minorities. Selain dari orang Jawa, kita semuanya minoritas,” papar Prof Dewi Fortuna 15 tahun lalu.

“Saya orang Minang adalah minoritas, Anda orang Sunda minoritas, tetapi kita tidak merasa terpinggirkan. Jadi jangan sampai kelompok masyarakat Papua merasa mereka itu minoritas yang tertindas. Tidak apa-apa menjadi minoritas tetapi hak dan kewajibannya sama dengan yang lain,” imbuhnya.

Irian sudah menjadi bagian dari Indonesia sejak tahun 1963. Dan, sejak itu pula gejolak kemerdekaan Irian Barat sudah ada. Hal ini dipicu oleh aktivitas eks KNIL yang ada di Belanda, Australia, maupun Amerika Serikat.

Banyak dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).internasional yang menyoroti hak penentuan masyarakat Irian terhadap nasib wilayah mereka. Termasuk gerakan gereja yang mendukung hal tersebut. 

“Yang pertama barangkali bukan LSM tetapi jaringan gereja. Dulu mereka mengkritik di Indonesia terjadi Islamisasi atau Javanisasi karena pada 1970-an – 1980-an ada transmigrasi besar-besaran ke wilayah Irian Barat,” jelas Dewi Fortuna.

Persoalannya, celah ketidakpuasan terhadap pemerintahan Indonesia atas Papua semakin melebar seiring perkembangan Indonesia. Hal ini ditandai dengan pembangunan yang terlihat lebih condong kepada bagian barat Indonesia.

“Saya kira semua mengakui dan harus jujur mengakui bahwa pembangunan selama ini lebih terfokus di wilayah Barat karenaa wilayah Papua ini memang lokasinya jauh dari Jakarta,” paparnya.

“Seolah-olah ada kesan bahwa Jakarta hanya peduli kepada sumber daya alam dari Papua saja. Ada kesan kita ingin mengeruk untuk bisa dinikmati seluruh Indonesia saja tetapi sumber daya manusia Papua sendiri cenderung kita abaikan,” imbuhnya.

Indonesia Sudah Diingatkan 15 Tahun Lalu

Polemik ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, ketidakmampuan pemerintah Indonesia dalam melakukan pemerataan pembangunan. Hal ini akhirnya memicu ketidakpuasan Papua dan dorongan untuk melepaskan diri. 

Kedua, celah ketidakharmonisan Indonesia-Papua ini yang kemudian dimanfaatkan oleh sejumlah pihak. 

“Namun demikian jangan take for granted, kontrol kita terhadap wilayah-wilayah kita sendiri. Kalau kita mengabaikan wilayah kita, kalau kita melanggar HAM, kalau kita tidak memperhatikan keadilan dan kesejahteraan, maka Jawa Tengah saja bisa meminta merdeka,” jelasnya.

Dapat disimpulkan bahwa poin kedua merupakan eskalasi dari poin pertama, yakni ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Nampaknya, perbincangan 15 tahun lalu ini menjadi cerminan kondisi yang terjadi saat ini.

“Jangan hanya marah-marah ke luar, tapi masalah di dalam tidak kita selesaikan,” tukas Dewi.

Sumber:
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2006. Dewi Fortuna Anwar: Sejarah Papua adalah Sejarah Indonesia. Edisi 12 Sep 2006.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments