HomeKabar BintuniMenilik Sisi Lain Sejarah Indonesia: Siapkah Merdeka?

Menilik Sisi Lain Sejarah Indonesia: Siapkah Merdeka?

Ilustrasi Indonesia Tempo Dulu. Foto; wikipedia.

“Ketidaksiapan rakyat itu cuma bohong belaka. Tiap negara penajajah menciptakannya untuk menegakkan apa yang disebut hak menjajah … Sejarah mengajarkan bahwa Belanda datang ke Hindia untuk mendapat untung,” tulis Goenawan Mangoenkoesoemo, mengutip Elson dalam buku Elson, Robert R. 2008. The Idea of Indonesia: A History.

Terdapat sebuah perdebatan menarik dalam buku karya Robert Elson, seorang sejarawan Indonesia asal Australia ini. Dalam bukunya, ia menuliskan bahwa dulu sebelum Indonesia merdeka, terdapat keraguan pada para tokoh dan cendekiawan tentang kesiapan rakyat Indonesia untuk menyongsong kemerdekaan.

Ketika gairah kemerdekaan mulai membara di Hindia, sekitar tahun 1918-an, ada satu perdebatan yang hingga Indonesia berdiri pun tidak pernah usai. Perdebatan itu adalah keraguan apakah Indonesia pantas dan siap untuk merdeka dan lepas dari jajahan Belanda. 

Hal ini ditandai ketika Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum mengobarkan semangat reformasi pemerintahan dengan memberikan kadar otonomi lokal. Atas kampanye Indie Weerbaar dan janji gubernur itu, lantas semakin dekatlah kemerdekaan di mata orang Hindia, sekaligus membuka gerbang perdebatan kesiapan Indonesia untuk merdeka.

Otonomi daerah atau kebebasan suatu daerah untuk memerintah sendiri–atas janji Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum–berekskalasi menjadi angan-angan akan kemerdekaan Indonesia. Ini membuka mata sejumlah cendekiawan tentang kesiapan Indonesia untuk memerintah sendiri. 

Tidak semua cendekiawan merasa bahwa Indonesia siap berdikari. Abdul Karim, misalnya. Seorang tokoh Sumatera Barat menulis bahwa Indonesia masih perlu belajar banyak sebelum mampu memerintah sendiri.

“Mereka masih berada dalam masa kepatuhan … mereka masih harus belajar banyak sekali sebelum siap melaksanakan pemerintahan sendiri,” tulis Abdul Karim pada tahun 1918.

Begitu juga Abdul Muis yang menyebut bahwa Indonesia masih harus belajar banyak soal pemerintahan dengan Belanda. Namun, alasan-alasan ini ditolak oleh aktivis kemerdekaan Indonesia. Goenawan Moangoenkoesoemo adalah salah satu dari pro kemerdekaan. Ia menyangkal bahwa Indonesia tidak siap untuk merdeka. Baginya, propaganda soal ketidaksiapan Indonesia hanyalah proyek penjajah semata agar mereka dapt hak untuk menjajah.

“Ketidaksiapan rakyat itu cuma bohong belaka. Tiap negara penajajah menciptakannya untuk menegakkan apa yang disebut hak menjajah … Sejarah mengajarkan bahwa Belanda datang ke Hindia untuk mendapat untung,” tulis Goenawan Mangoenkoesoemo.

Perdebatan pun merambah pada model pemerintahan Indonesia, yakni antara otokratik dan demokratik. Keduanya punya masalah yang cukup serius. Apabila menganut otokratik, maka ini dinilai mencederai keragaman Hindia lantaran tidak merepresentasikan keberagaman itu. Namun, jika menggunakan landasan demokratik, tak banyak perwakilan dari setiap suku yang memiliki kepiawaian yang cukup untuk menjadi delegasi.

Tjipto Mangoenkoesoemo menyebut bahwa hak suara dalam sistem demokratik memerlukan delegasi setiap perwakilan yang paham soal demokrasi dan suasana Indonesia. Ini membutuhkan setidaknya kemampuan literasi seperti membaca dan menulis, sedangkan hanya 4 persen rakyat Indonesia yang punya kemampuan tersebut.

Atas persoalan ini, muncul gagasan dari anggota IVS–seorang Belanda–yang menyebutkan bahwa Indonesia sebaiknya berdiri sebagai negara federasi. Dengan demikian, setiap daerah mampu menyampaikan kepentingan setiap suku kepada pemerintah. Nantinya, tiap daerah punya parlemen sendiri dan Volksraad (dewan rakyat) yang bakal menjadi parlemen  seluruh Indonesia. Sistem ini, menurut mereka, akan mengurangi kemungkinan percekcokan antar suku di Indonesia atau Hindia.

Pandangan ini nantinya akan memengaruhi hubungan Indonesia dengan Belanda melalui amandemen dari Komisi Reformasi. Amandemen tersebut akan melenyapkan kata ‘koloni’, di mana terdapat sebuah lembaga yang mengurusi gagasan negara bagian Imperium Belanda. Mereka, negara Bagian Imperium Belanda, harus mendapatkan otonomi mutlak dan kesetaraan di bawah Takhta Belanda.

Mempertanyakan Konsep Indonesia

“Khalayak pribumi tidak tahu apa-apa mengenai nasionalisme. Paling-paling, yang ada hanyalah rasa bermasyarakat yang batasnya tidak lebih jauh dari batas desa atau kampung mereka.”

Pada akhir dasawarsa kedua abad kedua puluh (sekitar tahun 1920-an), konsep Indonesia sudah mulai diakui. Terlebih, ketika Komisi reformasi telah mengakui bahwa rakyat Hindia memiliki keterikatan sosial, ekonomi, dan politik antar sesama di pulau yang berbeda. Namun, tak sedikit orang Belanda yang menyangsikan konsep Indonesia sebagai negara. Salah satunya, muncul ungkapan sebagaimana di atas.

Perlu diakui, bahwa kala itu hanya sekitar 4 persen masyarakat Indonesia–yang terdiri dari berbagai pulau–yang paham soal konsep kenegaraan dan nasionalisme. Mereka kebanyakan adalah orang pribumi yang menempuh pendidikan di Belanda. Atas dasar tersebut, kemerdekaan dianggap menjadi jalan panjang yang harus ditempuh oleh masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Dan, bukan segelintir orang ambisius yang berkuliah di Belanda.

Secara sederhana, Belanda mengakui gagasan berdirinya negara Indonesia. Namun, mereka masih ragu. Contohnya, perihal nama. Menurut mereka, nama Indonesia tidak cocok. Lebih cocok menggunakan nama Insulinde yang merepresentasikan campur tangan Belanda pada perkembangan Indonesia. Colijn, misalnya. Murid dari van Heutsz itu mengatakan bahwa boleh dikatakan Belanda adalah pencipta Indonesia saat ini. 

Begitu pandangan Robert Elson sebelum gairah kemerdekaan terbakar oleh para tokoh kemerdekaan.

 


Sumber:
Elson, Robert R. 2008. The Idea of Indonesia: A History. Cambridge. Cambridge University Press.

 J.R Logan. 1850.  The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing Enquiries into the Continental Relation of the Indo-Pacific Islanders. JIAEA, pp. 254

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments