
Pandemi bukan berarti konflik lingkungan hadir. Menurut catatan Global Witness 2021, Lasy Line of Defence, setidaknya ada 277 pejuang tanah dan lingkungan dunia dibunuh pada tahun 2020. Sedangkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2021 terjadi 207 letusan konflik di 32 provinsi yang tersebar di 507 desa/kota.Â
Dari angka tersebut, KPA mencatat korban terdampak mencapai angka 198.895 kepala keluarga (KK) dengan luas lahan berkonflik 500.062 hektare (ha). Data dari KPA tersebut memiliki catatan penting. Pertama, bahwa data konflik agraria KPA merupakan konflik agraria struktural.
Konflik agraria struktural adalah suatu kondisi pertseteruan antara masyarakat, komunitas, desa, kampung, petani, atau masyarakat adat di dalam satu kelompok dengan badan usaha milik negara (BUMN) maupun milik swasta.Â
Kedua, terdapat kenaikan jumlah konflik agraria di sektor pembangunan infrastruktur sebesar 73 persen dan pertambangan sebesar 167 persen. Jika mengukur tingkat konflik berdasarkan sektor, maka sektor perkebunan memiliki angka konflik tertinggi yaitu 74 konflik. Kemudian, sektor infrastruktur sebanyak 52 konflik, aktivitas pertambangan 30 konflik, pembangunan proyek properti 20 konflik, dan kehutanan 17 konflik.
Hal ini bersumber dari Catatan Akhir Tahun 2021 Konsorsium Pembaruan Agraria, Januari lalu. Selama 2 tahun pandemi, terjadi 448 kejadian konflik di 902 desa/kota atau sama dengan 18 konflik setiap bulannya.
Konflik ini berdampak serius pada masyarakat sebagaimana catatan Global Witness 2021, Lasy Line of Defence. Mengacu data dari Laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) tahun 2021, setidaknya terdapat 16 kasus kekerasan ancaman pada pembela HAM lingkungan periode Januari – Agustus 2021.
Di tahun 2022, konflik ini kembali merebak. Salah satunya konflik penolakan tambang emas PT Trio Kencana, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, yang menyebabkan penangkapan lebih dari 60 warga dan seorang warga tewas. Atau konflik dugaan kekerasan kepada warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Apa Pemicu Konflik Agraria Tinggi?
Mengutip Aartje Tehupeiory, Dosen Pascasarjana Prodi Magister Ilmu Hukum dan Ketua LPPM UKI Jakarta dalam mediaindonesia.com, konflik agraria timbul sebagai tanda bahwa pembaruan agraria harus dilakukan.
Menurutnya, konflik agraria merupakan akibat dari ketimpangan kepemilikan dan penguasaan serta pengelolaan sumber-sumber agraria (ketimpangan struktur agraria). Aartje dalam tulisannya juga menyebut bahwa konflik agraria ini bersifat kronis, masif, meluas, dan berdimensi hukum, sosial, politik, serta ekonomi.
Lantas, mengapa konflik agraria Indonesia masih tinggi?
Mantan Sekjen Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), M Noor Marzuki, pernah mengungkapkan alasan mengapa konflik agraria Indonesia tinggi. Pertama, redistribusi aset yang dijalankan melalui program reforma agraria masih jauh dari ekspektasi.
Menurutnya, program redistribusi aset hanya sebatas bagi-bagi sertifikat tanpa adanya sarana dan prasaranan lanjutan. Seharusnya, menurut M Noor Marzuki, pemerintah harus menyediakan saran dan prasanan setelah ada sertifikasi tanah. Misalnya, untuk tanah perkebunan disediakan saluran irigasinya dan disediakan pupuk sehingga ada potensi dan kesempatan pengolahan lahan lebih baik.
Kedua, wajar bila warga marah ketika pihak pabrik mau menguasai lahan. Hal ini karena warga sudah lama menggarap lahan tersebut dan pihak pabrik seenaknya mengklaim lahan tersebut untuk usaha lain. Menurut M Noor, perlu diadakan mediasi antara kedua belah pihak dan kesepakatan yang menguntungkan kedua pihak.
Sumber:
Herman. 2022. KPA Catat 207 Konflik Agraria Sepanjang 2021. Beritasatu edisi 6 Januari 2022.Â
Muhyiddin. 2021. Konflik Agraria Masih Tinggi, Ini Pemicunya Menurut Praktisi. Republika edisi 26 April 2021.
Tehupeiory, Aartje. 2019. Penyelesaian Konflik Agraria. Media Indonesia edisi 30 Juli 2019.Â
Â