Kekayaan alam yang dimiliki oleh Papua merupakan daya tarik bagi perusahaan-perusahaan besar, baik nasional maupun internasional untuk bisa dilakukan eksploitasi. Kandungan gas alam, minyak, batu bara, emas maupun tembaga dan juga hutan yang begitu luas, masih banyak yang belum tersentuh dunia industri.
Namun, justru kandungan sumber daya alam yang begitu besar menjadikan tanah Papua identik dengan konflik, bahkan telah terjadi sejak pra kemerdekaan Indonesia. Contohnya pada tahun 1937, di Teluk Bintuni, eksploitasi batu bara oleh belanda sudah dilakukan. Eksploitasi terhadap kandungan SDA di tanah Papua dilakukan dengan pendekatan konflik antar marga.
Teluk Bintuni, Papua Barat adalah kabupaten dengan kandungan minyak dan gas alam serta emas yang begitu besar. Kandungan gas alam yang telah diberikan konsesinya kepada LNG Tangguh sebanyak 25 triliun kaki kubik, juga menjadi menjadi sebuah permasalahan ketika friksi di antara marga pemilik ulayat yang saling mengklaim hak mereka atas sumur gas yang dieksploitasi oleh LNG Tangguh.
Menciptakan Konflik Melalui Batas Wilayah Administrasi dan Batas Wilayah Adat Yang Tidak Bersinggungan
Friksi antar marga ini timbul karena batas wilayah adat dengan batas administrasi resmi yang ditapal oleh pemerintah tidak bersinggungan. Persoalan ini menjadikan konflik antar marga rentan terjadi ketika ada sebuah kegiatan industri pada daerah tersebut. Saling klaim atas hak ulayat menjadi pemicu utamanya. Karena wilayah adat berdasarkan marga, tidak sama dengan wilayah administrasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Persoalan tapal batas wilayah adat dan administrasi pemerintah yang tidak sinkron ini, rupanya menjadi pula salah satu strategi dan intrik dari perusahaan untuk melakukan penambangan di sebuah daerah. Membenturkan marga di sebuah wilayah dengan tapal batas yang bias. Dan ini merupakan salah satu concern dari YLBH Sisar Matiti dalam mengadvokasi masyarakat adat.
Perselisihan Marga dan Pengakuan Hak Ulayat Bauw Besar dan Bauw Kecil di Weriagar atas Sumur Minyak yang Dikelola oleh PT Petroenergy Utama Weriagar, Teluk Bintuni, Papua Barat.
Kasus pencurian minyak di Distrik Weriagar, merupakan salah satu perkara atau kasus yang sedang diadvokasi oleh YLBH Sisar Matiti dengan background kasus yang sama. Konflik antara Marga Bauw Kecil di Dusun Waname, Weriagar dan Bauw Besar telah terjadi sejak tahun 1980-an, saat dimana perusahaan asing mulai masuk untuk melakukan pengeboran minyak.
Konflik tersebut masih berlangsung hingga kini, dimana pengeboran minyak dilakukan oleh PT Petroenergy Utama Weriagar (PT PUW). Strategi dari perusahaan dalam mendapatkan izin dari pemilik ulayat adalah: meminta izin pengeboran dari marga Bauw Besar, dan mengabaikan hak Marga Bauw Kecil yang hingga saat ini masih belum memberikan persetujuan.
Atas dasar ini, pengeboran dilakukan. Masalah ketidaksetujuan dari Marga Bauw Kecil, sudah bukan lagi menjadi urusan dari PT PUW, karena izin telah diberikan oleh Marga Bauw besar. Ini menjadikan konflik antara Marga Bauw Kecil dan Bauw Besar hingga kini belum terselesaikan. Pola dan pendekatan konflik seperti ini kerap dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam melakukan operasi mereka di seantero Papua.
Pada tahun 2020, atas permasalahan ini, Keluarga Bauw Kecil dan Bauw Besar akhirnya dimediasi oleh pihak pemerintah daerah. Atas persetujuan bersama, dilakukanlah pengukuran ulang batas wilayah, dan dinyatakan sumur minyak yang sedang dilakukan oleh PT Petroenergy Utama Weriagar berada di Dusun Waname, yang menjadi hak dari Marga Bauw Kecil. Namun, hal ini tidak dihiraukan oleh PT PUW, yang tetap beroperasi serta melakukan penyedotan minyak sebanyak 8.500 barel secara diam-diam.