Ingat bagaimana masyarakat adat Baduy lepas dari angka positif corona? Atau, bagaimana masyarakat Papua dapat hidup dengan sumber daya alam yang berkelanjutan? Kasus tersebut memperlihatkan paradoks dalam hidup di mana modernisasi tidak menjadi faktor tunggal dalam kehidupan masa depan.
“Tugas utama kita, mewariskan mata air bagi anak cucu. Bukan mewariskan air mata bagi mereka,” ungkap Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan, dalam dokumenter berjudul “Defending Paradise: Hutan Ibu Kami, Rumah Cenderawasih.”
Hal ini karena masyarakat adat memiliki ilmu yang makhluk modern abai terhadapnya. Dalam film dokumenter hasil kolaborasi Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa) dengan The Cornell Lab of Ornithology itu, dijelaskan bagaimana masyarakat adat hidup dari alam.
Hutan menjadi sumber makanan, sumber udara, air, obat-obatan, juga budaya. Bahkan, bersama dengan pimpinan adat, mereka membuat peta wilayah adat yang berisikan informasi terkait area berburu, area hutan kelola, dan wilayah konservasi.
Papua dan Papua barat memiliki jumlah total hutan alam terluas di Indonesia. Bahkan, luas hutan alam Papua Barat setara dengan 8,12 persen dari total hutan hujan tropis di Indonesia. Sayangnya, eksploitasi sumber daya alam mengancam hutan tanah Papua.
Mengacu pada data Koalisi Indonesia Memantau, pada tahun 2001-2019 deforestasi di Tanah Papua mencapai 663.443 ha. Sebanyak 34.918 ha tutupan hutan dialihfungsikan. Jika tidak dihentikan, dunia tak hanya kehilangan alam saja.
Dunia akan kehilangan masyarakat adat dengan kearifannya dalam konsep hidup berkelanjutan. Dalam buku Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan karya Ahmad Arief. Dalam penelitiannya, masyarakat adat yang masih menjalankan pola pangan tradisional dalam rangka kedaulatan pangan.
Mungkinkan Negara Bermitra dengan Masyarakat Adat?
TIdak dapat dipungkiri bahwa tahun 2021 menjadi awal dari kemitraan negara dengan masyarakat adat. Pengakuan negara terhadap masyarakat adat naik secara signifikan di tahun tersebut.
Meski tidak ada data yang ajeg, namun tahun tersebut memiliki tanda-tanda pengakuan negara terhadap masyarakat adat. Misalnya, pembuatan peta tanah pada masyarakat adat Sub Suku Afsya dan Nakna di Distrik Konda.
Ini merupakan progres yang cukup signifikan mengingat tahun 2020 lalu perhatian pemerintah terhadap hutan adat masih minim. Berdasarkan data anggaran Dinas Kehutanan tahun 2017 hingga 2020, program pemberdayaan masyarakat dan perhutanan sosial tidak berjalan maksimal.
Kemudian, hal ini juga terlihat dalam Dialog Kebijakan di Gedung Putih Trinati, Kota Teminabuan, Sorong Selatan, pada 08 – 09 November 2021 lalu. Masyarakat adat berhak terlibat dalam kebijakan daerah. Dialog tersebut membahas:
(1) hak untuk menguasai dan memiliki, mengelola dan memanfaatkan tanah adat, hutan, dan kekayaan alam lainnya; (2) hak menyelenggarakan kelembagaan adat, hukum adat dan peradilan adat; (3) hak untuk melindungi dan melestarikan adat istiadat, bahasa, pendidikan adat, tempat sakral dan kepercayaan.
Kemudian, (4) hak untuk menentukan pembangunan; (5) hak bebas untuk dipilih sebagai wakil rakyat, menentukan dan memilih wakil rakyat; (6) hak perempuan adat; (7) hak untuk mendapatkan dan melakukan perlindungan lingkungan yang sehat; (8) hak mendapatkan pemulihan atas pelanggaran hak-hak masyarakat adat; (9) hak masyarakat adat untuk bebas berkumpul dan berpendapat.
Sumber:
Arif, Ahmad. 2021. Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan. Jakarta: KPG.
Elisabeth, Asrida. 2020. Catatan Akhir Tahun: Perhutanan Sosial, dan Sulitnya Penetapan Hutan Adat di Tanah Papua. Mongabay edisi 24 December 2020.
Greenpeace Indonesia. 2021. Masyarakat Adat Papua di Kabupaten Sorong Selatan Menekankan Perlunya Keterlibatan Masyarakat dalam Proses dan Penyusunan Kebijakan Daerah. Edisi 15 November 2021.