Ada sebuah pemandangan yang menarik ketika kita menyusuri jalan di Pusat Kota Manokwari, Papua Barat. Beberapa posko vaksin mengadakan program vaksinasi dengan menggunakan yang bisa dikatakan seperti penjual baju yang menawarkan produknya di pinggir jalanan, dengan berseru “vaksinnya kaka, mari tong vaksin”.
Mungkin ini salah satu cara pemerintah daerah untuk mengejar target vaksinasi warga yang harus mencapai 75% tahun ini. Sejumlah aturan publik kemudian dimodifikasi untuk melancarkan program ini, Contohnya, syarat untuk mempergunakan transportasi publik, seseorang harus menunjukkan kartu tanda vaksin.
Ini berarti vaksin sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat. Diterapkan sebagai hukum positif, untuk memaksa masyarakat agar mendapatkan vaksin. Pemikiran seperti ini merupakan sebuah kekeliruan. Hal ini diungkap oleh Yohanes Akwan, SH., Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti, yang juga sekaligus sebagai pemerhati masalah sosial di Papua. Menurutnya, kekeliruan berpikir ini yang menyebabkan masyaarakat bersikap antipati terhadap program vaksinasi pemerintah.
“Seharusnya vaksin ini lebih disosialisasikan oleh pemerintah dan jejaringnya sebagai sebuah kebutuhan masyarakat, bukan kewajiban. Saya selama ini tidak melihat sosialisasi yang masif, yang bisa mempenetrasikan kebutuhan vaksin ini sampai ke distrik-distrik atau kampung-kampung kecil. Jadi warga juga semakin tidak suka, jika pemerintah sekarang ini cuma seperti kejar target saja. Ko harus vaksin, kalo tidak, ko mo bikin apa-apa semua susah,” ujar Akwan.
Kurangnya sosialisasi oleh pemerintah menurut Akwan, semakin membuka ruang bagi mereka yang punya kepentingan berseberangan untuk menyebarkan hoaks dan disinformasi, dimana hal ini semakin memperkeruh suasana hingga bisa menyebabkan huru-hara. Hal ini terjadi pada hari Kamis (16/12) kemarin, ketika masyarakat membakar dan merusak posko vaksin di kedua tempat tersebut.
“Seperti kejadian kemarin di Kaimana dan Fakfak. Ada warga yang setelah vaksin langsung meninggal. Hingga kini pihak berwajib belum merilis akibat dari kematian mereka. Dan ini juga akibat kurangnya sosialisasi. Warga yang melihat saudara atau teman mereka yang meninggal selepas vaksin, pasti langsung berkesimpulan bahwa vaksin penyebab kematian. Kemudian mereka marah. Belum lagi ada hoaks-hoaks yang dengan sengaja dilemparkan bahwa negara ini ingin membunuh warganya. Ini merupakan akibat dari kurangnya sosialisasi tentang vaksinasi. Bisa saja to, itu akibat kematian adalah penyakit bawaan atau komorbid. Tapi warga masyarakat tidak tahu tentang hal ini,” lanjut Akwan.
Menurutnya lagi, sebelum target 75% vaksinasi bagi warga Papua Barat itu dikejar oleh pemerintah dan jajarannya, sebaiknya sosialisasi lebih dimasifkan lagi dengan menggandeng warga lainnya.
“Sosialisasi harus lebih kencang, ajak masyarakat. Jangan terus mengajak aparat gabungan TNI-Polri yang datang paksa-paksa orang tancap-tancap jarum. Kita sekarang lihat bahwa tingkat kepercayaan kepada pejabat dan aparat kita itu sedang rendah. Ajaklah masyarakat untuk bersinergi dalam sosialisasi vaksin. Sebelum cuma kejar target vaksinasi. Kalau vaksinasi saja kejar-kejar target, itu angka kemiskinan kepada tidak dikejar supaya berkurang? Energinya harus sama. Coba kalau pemerintah bisa menggunakan energi yang sama untuk vaksinasi ini untuk juga membuka peluang kerja di Papua Barat, ajak bos-bos atau perusahaan. Buka lapangan kerja. Itu saja yang kami minta,” tandas Akwan.