Rabu 1 Desember 2021, terjadi pembakaran di base camp pabrik kayu milik PT Bangun Kayu Irian, Distrik Kamundan, Kabupaten Maybrat, Papua Barat. Komite Nasional Papua Barat (KNPB) datang ke lokasi tersebut, membuat video di depan bangunan yang terbakar dan mengklaim bahwa itu adalah perbuatan mereka.
Pembakaran base camp pabrik kayu milik PT Bangun Kayu Irian di distrik Kamundan menambah satu lagi catatan kekeruhan konflik yang terjadi di Papua Barat, khususnya Maybrat. Lantas, apakah PT Bangun Kayu Irian hanyalah salah satu korban dari konflik bersenjata di Maybrat? Ataukah ada hubungan lain antara aktivitas militer dan pengerukan sumber daya alam di Papua?
Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat (KMSPPM) menyebut konflik di Maybrat merupakan bagian dari konflik berkepanjangan di Papua yang dimulai sejak 1961. Mereka mengatakan bahwa konflik di Maybrat merupakan bagian dari konflik lainnya seperti konflik di seperti di Nduga (2018), Intan Jaya (2019), dan (2020), serta konflik-konflik lain di berbagai wilayah Papua.
Maybrat sendiri adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat hasil pemekaran tahun 2009. Sejak pemekaran tersebut, Maybrat sarat konflik antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Bahkan hingga saat ini
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 20 tahun 2020 untuk proyek pembangunan di Papua Barat, aktivitas militer kian pesat. Mencakup di dalamnya, pembetukan pos-pos militer di Aifat Selatan dan Aifat Timur, menyusul pembentukan komando distrik militer (kodim) baru di Kabupaten Maybrat pada bulan Maret 2021.
Keberadaan kodim baru dapat dilihat di Kabupaten Tambrauw di mana masyarakat adat dipaksa melepas tanah adat mereka kepada tentara dan menimbulkan banyak protes. Begitu pula di Maybrat. Menurut humanrightspapua.org Kodim dan pos-pos militer baru meningkatkan aksi militer di Maybrat dan menimbulkan banyak korban baru. Tanggal 25 Oktober 2021, tentara Indonesia melakukan penyisiran di Kampung Fuok yang menyebabkan 1 orang tewas tertembak.
Pembentukan Kodim baru tidak akan terjadi tanpa pembentukan daerah otonom baru (DOB), khususnya pembentukan Kabupaten Maybrat pada tahun 2009. Provinsi baru membuka jalan bagi tentara untuk membangun basis komando baru yang artinya lebih banyak pasukan yang ditempatkan secara permanen di sekitar Maybrat, tetapi juga berarti potensi meningkatnya ketegangan dan konflik.
Namun, kisruh Maybrat bukan hanya soal konflik antara TNI dan TNPB, atau soal pembangunan. Pembakaran base camp PT Bangun Kayu membuka tabir baru akar konflik Maybrat.
“Jadi ada dugaan: karena ini konflik sebenarnya untuk mengamankan operasi sumber daya alam, terutama kayu log yang ada,” sebut sumber.
“Kantor perusahaan itu sempat dibakar. Tapi kecurigaan kami, itu hanya menjadi modus untuk menjadi bargaining untuk tawar di konflik atau pengelolaan konflik. Jadi konflik jalan, operasi kayu tetap jalan. Kalau kemudian konflik itu betul-betul perusahaan beroperasi, seharusnya yang mendekat ke perusahaan adalah TNI dan Polri. Tapi kenyataannya di dalam tidak ada TNI dan Polri,” sambungnya soal aktivitas pemotongan kayu di wilayah konflik di Maybrat.
Jejak PT Bangun Kayu Irian Sejak 1980
Awalnya, PT Bangun Kayu Irian (BKI) didirikan pada 28 Maret 1980 dan berkedudukan di Jakarta. PT BKI melakukan beberapa kali perubahan akta perusahaan dan terakhir Akta No. 18 tahun 2008. Susunan kepengurusan BKI, terdiri dari: Direktur Utama, Sutiyono; Direktur, Anton Sjarif; Dewan Komisaris, terdiri dari Komisaris Utama, Henry Johanes dan Komisaris, Robert Joppy Kardinal. Komposisi pemegang saham, yaitu: Henry Johanes sebesar 50% dan Robert Joppy Kardinal sebesar 50%, dengan total modal yang disetor total sebesar Rp600 juta rupiah.
Berdasarkan data yang tertulis di Forest Watch Indonesia (FWI), SK PT Bangun Kayu Irian (BKI) keluar sejak tahun 1993 dengan SK Menteri Kehutanan Nomor : 01/KPTS-II/1993/ Tanggal 04 Januari 1993 dengan areal konsesi seluas 299.000 ha selama 20 tahun. Jika mengacu SK tersebut, operasi PT BKI berakhir di tahun 2013.
PT. Bangun Kayu Irian masuk dalam Kawasan Nawir Sorong Selatan dengan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Sorong di tahun 1993 yang pada saat itu masuk masuk ke dalam wilayah administratif pemerintahan Propinsi Sorong. Kemudian, pada tahun 2005, daerah asisten kabupaten provinsi Sorong dimekarkan menjadi kabupaten-kabupaten akhir sendiri.
Berdasarkan aman.or.id, PT BKI tidak pernah sosialisasi AMDALmasuk di wilayah Nawir. Masuknya PT BKI di wilayah masyarakat adat pemilik hak ulayat, sama sekali tidak diketahui oleh pemilik hak ulayat. Mereka membuka hutan di pinggiran sungai Nawir dan membangun Kantor Lapangan di lokasi tersebut.
Masyarakat adat di wilayah Nawir sering melakukan protes terhadap perusahan berkaitan dengan pembayaran kayu atas aktivitas PT BKI. Namun aksi tersebut justru dibalas dengan teror, ancaman dan intimidasi oleh aparat keamanan yang menjaga perusahan.
Hingga saat ini, operasi PT BKI diduga masih terus dilanjutkan. Berdasarkan kesaksian dari pekerja operator excavator, operasi penebangan pohon untuk log masih dilakukan, bahkan di tengah konflik.
“Situasi di sana, ada di wilayah konflik antara KNPB OPM dan TNI Polri. Namun sampai saat ini ada salah satu perusahaan yang masih beroperasi karena itu kayu log, perusahaan atas nama PT Bangun Irian, itu masih beroperasi sampai hari ini,” ungkapnya.
“Beberapa relawan kami itu per tanggal 14 Februari itu ada di sana dan bertemu beberap operator excavator yang masih beroperasi me-loading kayu dari dalam hutan. Padahal dalam situasi konflik dan hampir setiap hari itu truk keluar-masuk kayu ke wilayah Sorong Selatan dan Kabupaten Sorong di pabrik yang beroperasi di Kabupaten Sorong,” sambungnya.
“Kayu tetap keluar, konflik tetap jalan. Ketika ada operasi militer, ada genjatan senjata, tapi kalau soal pengiriman kayu, tidak ada gencatan senjata. Dan juga ada beberapa pedagang-pedagang yang masuk-keluar yang pakai motor, itu ojek yang keluar itu sering keluar masuk. Sementara untuk orang Papua itu tidak bebas masuk, diperiksa. Sedangkan kalau perusahaan lewat saja. Ini yang jadi pertanyaan.”
Kondisi konflik di Maybrat saat ini menyebabkan wilayah itu tidak berpenghuni. Di 6 distrik, dipastikan ada penduduk di sana. Seluruh warga di wilayah tersebut terutama anak, perempuan dan ibu hamil, tenaga medis, tenaga pengajar, di wilayah Arfak, Arfak Timur, Arfak Tengah, Arfak Timur Jauh, dan Selatan mengungsi di daerah Kumurkek, Ayawasi, dan sebagian ada lagi di Kabupaten Sorong di SP 1, SP 2, dan di wilayah Timpora di Kabupaten Sorong.
“Jadi persoalan di Maybrat itu yang pertama di 6 distrik, itu belum bisa dipastikan ada penduduk di sana. Karena aktivitas pendidikan tidak ada sampai saat ini, yang ada hanya kepala kampung. Karena sebagai anak-anak, terutama perempuan dan ibu hamil, tenaga medis, tenaga pengajar, itu tidak ada lagi di 6 distrik di wilayah Arfak, Arfak Timur, Arfak Tengah, Arfak Timur Jauh, dan Selatan. Itu semua mengungsi di daerah Kumurkek, Ayawasi, dan sebagian ada lagi di Kabupaten Sorong di SP 1, SP 2, dan di wilayah Timpora di Kabupaten Sorong.
Kembali Menggugat dari 2015 hingga 2023
Tahun 2015, Masyarakat adat pemilik hak ulayat yang tinggal di kampung Bagaraga, Wardik, Tokas di wilayah Distrik Wayer dan Distrik Moswaren, yaitu Marga Saman, Marga Yaru Homer, Marga Homer, Marga Tigori, Marga Smur, Marga Fna, Marga Wato, menggugat PT BKI.
Sebagaimana tertulis pada website aman.or.id, masyarakat adat pemilik hak ulayat mengaku merasa dirugikan secara tidak terhormat dan melanggar hak-hak asasi mereka sebagai pemilik hak ulayat. Ssejak masuk dan beroperasinya perusahan PT BKI di wilayah Nawi masyarakat adat pemilik hak ulayat juga sering kali mendapat ancaman, teror, intimidasi dari aparat keamanan yang bertugas menjaga perusahan.
Kini, aktivitas PT BKI di tengan konflik kembali menuai kontroversi. Pasalnya, izin operasi PT BKI seharusnya sudah selesai bahkan 10 tahun lalu.
“Sampai saat ini perlu dipertanyakan kenapa kehutanan tidak bisa masuk memeriksa izinnya? Dari informasi yang kita dapat–dapat informasi dari masyarakat adat yang ada di wilayah Sorong Selatan–minta untuk dewan adat di sana untuk mengecek dinas kehutanan, mereka menyampaikan bahwa mereka sendiri tidak bisa masuk. Pertanyaan ini yang perlu dijawab kenapa mereka tidak bisa masuk. Apakah ada kepentingan lain?” ungkap sumber terkait.
“Harapan kami, sekiranya LBH Sisar Matiti itu bisa melakukan advokasi terutama untuk KLKH, Kehutanan dan juga KPK untuk dicek izinnya atas nama perusahaan yang terkait. Dan kira-kira, apakah pemdanya juga perlu ikut tau. Apakah pemda tahu tidak? Karena ini informasi yang valid. Karena untuk masuk ke dalam tidak semua orang bisa masuk sampai ke Arfak Timur kecuali mereka-mereka yang bekerja di perusahaan terkait,” sambungnya.
Referensi:
Tapol.org. 2022. Militerisasi, Konflik, dan Ketidakadilan di Kabupaten Maybrat, Papua Barat.
Aman. 2015. Tujuh warga pemilik hak ulayat menggugat PT. Bangun Kayu Irian.