“Sesungguhnya Pemerintah Pusat sangat keberatan,” jelas Simon Patrice Morin saat diwawancarai soal Otonomi Khusus Papua.
Saat itu, Morin sedang bercerita tentang jalan panjang penerbitan otsus Papua. Ia menyebut Otsus Papua bukanlah pemberian Tim 100. Pada tahun 1999, sejumlah tokoh Papua membentuk TIm 100 untuk bertemu presiden Habibie untuk memutuskan hubungan Papua dengan Indonesia.
“Waktu itu pada 1999 tokoh masy papua mereka bergabung dan bentuk Tim 100 datang ke Istana untuk bertemu Presiden BJ Habibie. Ketika itu, mereka menyampaikan bahwa sudah cukup bersama Indonesia dan akan berpisah atau mau merdeka,” papar Morin.
“Saya heran saja, kalau masih ada pemahaman bahwa otsus Papua diberikan karena permintaan M Tim 100,” sambungnya.
Kemudian, ketika Pemerintah hendak memberikan status otsus untuk Aceh, Yap Salossa dan Bung S.P Morin sebagai Anggota DPR RI dibantu teman mereka dari Aceh yaitu Abdulah Puteh menghadap Akbar Tandjung.
Mereka mendesak Akbar Tandjung agar otsus juga diberlakukan di Papua. Morin menyebut bahwa pada awalnya Pemerintah Pusat sangat keberatan. Namun atas desakan tokoh tersebut, akhirnya Akbar Tandjung menyetujui otsus Papua.
Pemberian otsus bertepatan dengan terpilihan Yap Salossa sebagai Gubernur. Hal ini dilanjutkan dengan penyiapan Draf RUU Otsus Papua yang melibatkan Akademisi dari UNCEN. Proses sosialisasi otsus tersebut ternyata menimbulkan pemahaman lain.
“Dalam proses sosialisasi UU otsus itulah timbul pernyataan bahwa Otsus sebagai jawaban tuntutan merdeka. Karena itu setelah UU Otsus di tetapkan, Pemerintah Pusat setengah hati mendukung pemberlakuannya, terbukti beberapa ketentuan dan aturan turunan UU Otsus mengalami hambatan, seperti Perdasus Tentang Kewenangan Daerah,” jelasnya
Akibat tidak ada pengawalan terhadap penjabaran aturan turunan UU otsus, pelaksanaan otsus di Papua kian terkendala dan hambatan. Menurut Morin, hal ini terjadi lantaran tidak ada pengawalan saat penjabaran aturan turunan otsus.
“Sayangnya Pemprov Papua dan Akademisi tidak terus mengawal penjabaran Aturan Turunan UU otsus, seperti PP, Perdasus,” jelasnya.
Pemerintah Harus Jujur Soal Otsus
Morin menyebut pemerintah harus jujur soal otsus. Hal ini demi mendukung ruang perubahan bagi masyarakat Papua dan juga kemajuan. Menurut Morin, kondisi otsus saat ini telah terdegradasi maknanya hanya soal dana saja.
“Apalagi setelah Bung Yap dipanggil Tuhan, maka proses pengawalan implementasi Otsus terkesan hanya berfokus pada Dana Otsus. Harus diakui bahwa Roh Otsus yang sebenarnya, tidak mampu diimplementasikan dengan baik, oleh Pemprov, DPRP, dan MRP,” ungkap Morin.
“Hiruk-pikuk agenda pilkada sering menggangu dan penerapan UU bersifat Nasional dalam bingkai Otsus Papua sangat kontraproduktif terhadap Implementasi Otsus. Saat ini, sebagian masyarakat Papua menolak otsus dan meminta untuk merdeka. Tapi hal ini tidak segampang membalik tangan,” imbuh Morin.
Morin menjelaskan bahwa ketidakmampuan pemerintah dalam memperbaiki otsus Papua akan berujung pada konflik. Menurut catatan sejarah, permintaan lepas dari Indonesia akan berujung pada peperangan.
“Saya pikir berdasarkan catatan sejarah, ketika Maluku, Minahasa, Makasar minta hal yang sama dan melakukan perlawanan, jawabannya adalah Perang,” jelasnya.
Perjuangan pendirian otsus Papua adalah langkah untuk mencegah konflik kepentingan. Otsus pada dasarnya dibentuk untuk menyelesaikan dua poin utama, yakni soal pembangunan dan kesejahteraan dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Ini adalah bentuk itikad baik pemerintah untuk pembangunan Papua. Sayangnya, hingga saat ini otsus telah melenceng dari jiwanya. Otsus telah mengalami kemunduran, di mana terjadi usaha pembalikan desentralisasi kekuasaan melalui otonomi khusus.