Pemerintah telah menyetujui perubahan kedua Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Provinsi Papua. Selanjutnya revisi tersebut akan dibawa ke rapat paripurna DPR RI. Kendati demikian, sejumlah pihak tidak puas dengan hasil UU yang baru.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Sisar Matiti, misalnya, menyebut revisi memiliki banyak kekurangan. Direktur Eksekutif YLBH Sisar Matiti mengatakan bahwa pemerintah terkesan terburu-buru dalam menetapkan revisi otsus.
“Kami menilai pemerintah pusat terkesan, terburu – buru dalam penetapan revisi UU Otsus Papua. Seharusnya dikaji oleh pakar secara baik, lalu ditetapkan,” ungkap Direktur Eksekutif YLBH Sisar Matiti, Yohanis Akwan kepada media ini, Sabtu (17/07/2021).
Setidaknya, ada empat hal yang dikritisi oleh YLBH Sisar Matiti. Pertama, batasan implementasi UU nomor 21 Tahun 2001 multitafsir. Menurutnya, kata ‘Provinsi Papua’ tidak mencakup dua provinsi yang ada di Papua.
Maka, sebaiknya, diubah menjadi Pemberlakuan UU Otonomi Khusus di Tanah Papua. Kemudian, dari sisi kewenangan pun bermasalah. Menurutnya, hal ini berpotensi memberikan legitimasi kepada Gubernur Provinsi Papua menjadi Gubernur Jenderal, dalam membagi Dana Otsus kepada Provinsi – Provinsi lainnya.
Kedua, Yohanis menyebut bahwa sebaiknya PRP dan MRP juga memiliki kewenangan untuk mengusulkan, memutuskan pemekaran di Provinsi Papua maupun di Provinsi Papua Barat.
Ketiga, terkait dengan DPR Pengangkatan di Tingkat Kabupaten. Yohanes menyebut pengangkatan DPR sebaiknya menggunakan proses demokratis seperti pemilu lewat Partai Politik Lokal.
Selama ini, proses seleksi DPR terhambat oleh kewenangan khusus melalui peraturan pemerintah yang lambat ditetapkan oleh pemerintah pusat sehingga membuat kegaduhan.
Keempat, Yohanes juga mengkiritisi evisi UU Otsus yang tidak mengakomodir kekhususan dalam pemilu Bupati, wakil Bupati dan Wali Kota, wakil Wakil Kota.
Saat ini, revisi yang ada hanya mengakomodir Gubernur dan Wakil Gubernur yang secara khusus orang Asli Papua, sementara Bupati, wakil Bupati, dan Wali Kota, wakil Wali Kota seperti Biasa, mengikuti instrumen nasional.
Jejak Sejarah Otsus Papua: Pemerintah Selalu Terburu-buru
“Saya lihat pemerintah pusat terlalu terburu-buru, belum ada kajian secara baik sehingga untuk mengakomodir kepentingan rakyat, mencari solusi atas ketimpangan daerah, dan menyelesaikan konflik di Papua,” kata Yohanes.
Kalimat ini sejalan dengan sejarah. Pasalnya, tak hanya Direktur Eksekutif YLBH Sisar Matiti saja yang mengatakan.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy.
Ia menilai bahwa pemerintah terburu-buru merevisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua). Salah satu yang ia soroti adalah soal pelaksanaan pasal-pasal yang berkaitan dengan pemenuhan hak asasi manusia orang Papua.
“Kesempatan evaluasi ini tidak dilakukan, kemudian pemerintah terburu-buru melakukan revisi,” kata Yan Christian mengutip Tempo pada Rabu malam, (14/07/2021).
Yan Christian menyebut pemerintah tidak mengindahkan Pasal 45 UU Nomor 21 Tahun 2001. Seharusnya melalui pasal tersebut pemerintah mampu menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati HAM di Papua.
Salah satu caranya adalah dengan membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua.
Kemudian, Tokoh Simon Patrice Morin pun menjelaskan hal yang sama. Dalam sebuah kesempatan, Morin menyebut sejak awal pemerintah setengah hati menerbitkan otsus di Papua.
“Pemerintah Pusat setengah hati mendukung pemberlakuannya. Hal ini terbukti dari beberapa ketentuan dan aturan turunan UU Otsus mengalami hambatan. Misalnya seperti Perdasus Tentang Kewenangan Daerah,” ungkap SP Morin.
Pada penerbitannya, Morin menyebut awalnya pemerintah pusat keberatan soal otsus di Papua. Namun, berkat desakan dari beberapa pihak, termasuk Yap Salossa, S.P Morin sebagai Anggota DPR.RI dan dibantu Abdulah Puteh, otsus di Papua akhirnya lahir.
“Ketika Pemerintah mau memberikan Status Otsus buat Aceh, maka Bung Yap Salossa dan Bung S.P Morin sebagai Anggota DPR.RI dibantu teman mereka dari Aceh yaitu Abdulah Puteh menghadap Akbar Tandjung minta agar Otsus juga diberlakukan di Papua. Sesungguhnya Pemerintah Pusat sangat keberatan,” jelas Morin saat diwawancarai.
Sumber:
Putri, Budiarti Utami. 2021. Revisi UU Otsus Papua Dinilai Abaikan Pasal soal HAM. Tempo edisi 15 Juli 2021.