HomeKabar BintuniKetika Masyarakat Adat Dianggap Masalah Sosial

Ketika Masyarakat Adat Dianggap Masalah Sosial

Ilustrasi masyarakat adat. Foto: google

Masyarakat Adat di Indonesia kerap dipandang sebelah mata, bahkan oleh negara. Hal ini tercermin dari pendefinisian masyarakat adat dari kaca mata negara. Negara melabel komunitas adat dengan sebutan miskin, terasing, dan tertutup.

Definisi dari Kementerian Sosial Republik Indonesia, misalnya. Kemensos mendefinisikan masyarakat adat sebagai kesatuan kelompok yang hidup terikat oleh keadaan geografis, budaya, dan ekonomi. Mereka terpencil, miskin dan rentan sosial ekonomi.

Masyarakat adat tereksklusi secara sosial. Misalnya, cara hidup mereka dipandang udik, primitif, dan anti pembangunan. Bahkan dalam kasus yang lebih besar, mereka tereklusi dari keputusan tentang nasib tempat tinggal mereka.

Definisi ini ternyata punya dampak yang cukup siginifikan dalam kehidupan masyarakat adat. Hal ini yang menjadi latar belakang mengapa masyarakat adat kerap dianggap terasing dan mendapat perlakuan yang kurang tepat.

Dalam buku Sistem Pelayanan Proyek Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (1981), disebutkan bahwa masyarakat adat merupakan masalah sosial. Mereka dianggap sebagai masyarakat terasing yang perlu dibuatkan program pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu program yang tidak tepat sasaran misalnya, Program Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKSMT). Dalam bukunya yang berjudul Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan, Arief Ahmad menyebut program tersebut adalah salah satu bentuk program yang merumahkan pemburu dan peramu.

Lantas, apa masalahnya? Indikator kesejahteraan masyarakat adat dalam program PKSMT adalah masyarakat yang ‘terumahkan’. Menurut Arif, indikator ini dibentuk secara topdown tanpa memerhatikan kondisi lapangan masyarakat. Hasilnya, program ini cenderung merendahkan kehidupan masyarakat adat.

Mereka tidak terasing dan tidak hidup secara primitif. Definisi masyarakat adat dari AMAN menyebutkan hal tersebut. Masyarakat adat adalah komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat. Mereka memiliki kedaulatan atas tanah, kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat yang mengelola keberlangsungan hidup masyarakatnya.

Dampak Merumahkan Para Pemburu dan Peramu

Program yang menjadi andalan negara dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat adat adalah Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT). Secara sederhana, program ini merumahkan masyarakat adat. 

Negara memberikan pemukiman tetap, bangunan rumah, jaminan hidup selama kurun waktu tertentu, peralatan ladang dan bibit palawija yang disesuaikan dengan kondisi sekitar. Di era Orde Baru, program ini dilaksanakan dengan kata kunci ‘pembinaan’. Kemudian di era Pasca Reformasi, kata kunci yang digunakan diubah menjadi ‘pendampingan’ dan ‘pemberdayaan. Program ini dikenal dengan Program Pembinaan Komunitas Adat Terpencil.

Sebagai salah satu contoh, program ini menghasilkan 30 rumah untuk Orang Rimba di Desa Singosaru pada tahun 2007 dan 50 rumah di Dusun Air Panas pada tahun 1991. Program merumahkan Orang Rimba ini dilakukan di beberapa daerah antara lain Desa Padang Kelapo, Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Desa Bukit Suban dan Pematang Kabau.

Pemindahan permukiman ini dilandasi oleh beberapa alasan di bawah payung kesejahteraan masyarakat adat. Pertama, negara ini membuat masyarakat adat lebih dekat dengan pelayanan jasa. Kedua, negara ingin mengantisipasi perusakan hutan yang dilakukan oleh peladang.

Atas alasan ini, Kementerian Petanian telah memukiman 7.682 keluarga peladang di 17 Provinsi. Salah satu masyarakat adat yang terdampak adalah masyarakat Punan Tubu yang pindag ke pinggiran Kota Malinau yang dinamakan Desa Respen Sembuak. 

Dalam penelitian Edmond Dounias pada jurnal berjudul From Sago to Rice, From Forest to Town pada tahun 2007, pemindahan masyarkat Punan Tubu memiliki dampak signifikan pada kehidupan mereka. 

Dalam penelitian lainnya, memang disebutkan dampak positif dari program pemukiman itu. Misalnya, secara statistik terdapat perbaikan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Namun, secara lapangan berbeda.

Banyak generasi tua Punan Tubu kecewa karena tradisi mereka hilang. Salah satunya berbagi hasil daging buruan. Kemudian, anak-anak lebih mudah terpapar penyakit seperti cacar, campak, gondongan, kolera, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan oleh terbukanya akses ke dunia luar.

Selain itu, meski mendapat akses pendidikan, generasi muda Punan Tubu kurang memiliki koneksi yang diperlukan untuk bisa dipekerjakan sebagai pegawai pemerinah atau perusahaan. Hal ini mendorong kegelisahan dan frustrasi anak muda Puna Tubu. Akhirnya, banyak yang terlibat dengan minuman keras dan obat-obatan.

Belum lagi tekanan sosial dari etnis lain. Penelitian menunjukkan bahwa integrasi masyarakat Punan Tubu dengan etnis lain di perkotaan justru berdampak negatif. Banyak dari mereka yang menjadi bahan tertawaan tetangga mereka. Atau bahkan, konflik seperti sengketa lahan oleh masyarakat lain. 

 

Sumber:

Arif, Ahmad. 2021. Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan. Jakarta: KPG

Badan Ketahanan Pangan. 2019. Badan Ketahanan Pangan Indonesia 2019. Badan Ketahanan Pangan Indonesia

Ferdian, Delly. 2021. Membangun Indonesia Dari Pinggiran Itu, Dimulai Dari Masyarakat Adat. Mongabay edisi 9 Agustus 2021.

Firmansyah, Nurul. 2019. Pulihkan Hak Masyarakat Adat. Mongabay edisi 3 Oktober 2019.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments