HomeKabar BintuniJalan Panjang Ketahanan Pangan Indonesia

Jalan Panjang Ketahanan Pangan Indonesia

Ilustrasi Food Estate. Foto: google.

Proyek food estate masih menjadi andalan pemerintah dalam mengatasi permasalahan pangan di Indonesia. Salah satu alasan kuat pembangunan food estate adalah indeks kelaparan global Indonesia yang masih jauh dari posisi aman. Pada tahun 2019 misalnya, Global Hunger Indesx (GHI) atau Indeks Kelaparan Global Indonesia berada pada posisi 70 dari 117 negara.

Posisi ini disebutkan lebi buruk dari mayoritas negara di Asia Tenggara. Secara berurutan, GHI Indonesia tahun 2015 berada pada angka 22,1. Kemudian pada tahn 2018 sebesar 21,9 dan tahun 2019 pada angka 20,1. Rata-rata ini hanya beda sedikit dengan negara Kamboja dengan rata-rata 23,7 dan Laos 25,3.

GHI mengukur 4 komponen sebagai indikator ketahanan pangan. Pertama, prevalensi kekurangan gizi; kedua, proporsi anak di bawah 5 tahun yang kurus; ketiga, proporsi anak di bawah lima tahun yang tengkes (tidak tumbuh besar); keempat, tingkat kematian anak di bawah usia 5 tahun.

Beberapa komponen seperti kurus, tengkes dan kekurangan gizi, diduga berasal dari sumber pangan yang monoton. Misalnya, Indonesia telah sejak lama bergantung padu satu sumber pangan, yakni nasi. Selain itu, harga makanan olahan murah dengan lemak dan gula yang tinggi memperparah kondisi itu. 

World Food Programme menunukkan data bahwa 58 dari 398 kabupaten pedesaan di Indonesia sangat rentan terhadap kerawanan pangan dan gizi buruk. Itu sebabnya negara berpikir bahwa food estate adalah jalan keluar bagi ketahanan pangan Indonesia.

Lantas, jika penelitian telah menunjukkan bahwa satu sumber makanan tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional, mengapa food estate tetap dilakukan? Program serupa di era pemerintahan sebelumnya telah menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Baik sejak era Soeharto tahun 1996 hingga era SBY tahun 2016.
Sebenarnya, apa itu ketahanan pangan yang diusung oleh food estate?

Food Estate: Tersesat dalam Konsep

Jika menilik definisi ketahanan pangan, maka konsep bergantung pada satu sumber pangan akan menjadi kontradiktif. Sebenarnya, Indonesia memiliki beberapa konsep soal ketahan pangan. Pertama, ketahanan pangan itu sendiri. Mengacu pada UU No. 18/2012 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah:

adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal”.

Kedua, konsep Kemandirian Pangan. Merupakan kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Ketiga, konsep Keamanan Pangan. Adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.

Dari konsep-konsep tersebut, kearifan lokal menjadi kata kunci. Misal, konsep ketahanan pangan menyebutkan bahwa negara menjamin hak pangan sesuai dengan sumber daya potensi. Begitu juga konsep kemandirian pangan yang memanfaatkan sumber daya alam berdasarkan kearifan lokal.

Dalam kacamata antropologi, proyek food estate dianggap kurang relevan dengan kebutuhan lokal, atau mengacu pada definisi di atas. Mengutip Freddy Aktif Era Sianturi, mahasiswa Magister Studi Pembangunan ITB dalam detik, ada 4 alasan mengapa proyek tersebut tidak relevan.

Pertama, target luas lahan proyek food estate dinilai sangakt eksploitatif. Pemerintah menargetkan lahan di di Papua seluas 1,2 juta hektar, Kalimantan Barat 120 ribu hektar, Kalimantan Tengah a180 ribu hektar, Kalimantan Timur 10 ribu hektar, dan  Maluku 190 ribu hektar. Kemudian Sumatera Utara 60 ribu hektar, Sumatera Selatan 235 ribu hektar, dan NTT 5 ribu hektar. 

Kedua, Permen LHK Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate dinilai akan semakin merusak lingkungan. Secara sederhana, kebijakan ini cenderung melegalkan tindakan deforestasi dengan mengatasnamakan ketahanan pangan. 

Ketiga, pemilihan metode KLHS Cepat dalam proyek food estate. Metode ini idealnya hanya digunakan untuk perencanaan bersifat darurat karena cenderung bersifat spekulatif dan memberikan ruang yang besar bagi ketidakpastian. 

Keempat, penunjukan Kemenhan sebagai leading sector pengelolaan proyek food estateyang dinilai tidak etis karena menyimpang dari tugas pokok dan fungsi serta basis keilmuan Kemenhan. 

Sehingga secara keseluruhan keputusan pemerintah merujuk pada antroposentrisme atau shallow environment ethics yang menjelaskan bahwa manusia dan kepentingannya dianggap paling penting di atas hubungannya dengan alam.

 

Sumber:

Arif, Ahmad. 2021. Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan. Jakarta: KPG.

Sianturi, Freddy Aktif Era. 2022. Antroposentrisme Proyek “Food Estate”. Detik edisi 18 Januari 2022.

Situs resmi Badan Urusan Logistik. Ketahanan Pangan

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments