Awal tahun 2022, tepatnya di bulan Maret Pakar HAM PBB menyampaikan desakan serius mengenai situasi HAM di Provinsi Papua Barat dan Papua. Berdasarkan laporan yang mereka terima, terdapat pembunuhan di luar hukum, termasuk terhadap anak-anak, penghilangan orang, penyiksaan, pembatasan akses bantuan kemanusiaan, serta pemindahan paksa sekitar 5.000 warga dalam kurun April-November 2021.
Pakar HAM PBB meminta agar pemerintah Indonesia membuka akses kemanusiaan menuju daerah Papua dan Papua Barat. PBB juga meminta meminta pemerintah Indonesia untuk mengadakan penyelidikan secara penuh dan independen terkait masalah kekerasan terhadap warga asli Papua.
“Kami sangat terganggu juga dengan laporan bahwa bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Papua dihalangi oleh otoritas setempat,” ungkap Pakar HAM PBB, mengutip suara.com.
“Antara rentang April hingga November 2021, kami menerima banyak tuduhan yang mengindikasikan adanya beberapa praktik pembunuhan di luar proses hukum (extrajudical killing), termasuk kepada anak-anak kecil. (Ada upaya) penghilangan paksa, penyiksaan, dan perlakuan tidak manusiawi,” imbuhnya.
Menanggapi hal tersebut, Duta Besar Indonesia untuk PBB, Febrian Rudyard menyatakan kekecewaannya atas desakan tersebut. Indonesia, melalui Duta Besar, menilai pernyataan PBB atas apa yang terjadi di Papua adalah bias dan meminta SPMH “meluangkan waktu untuk membaca tanggapan pemerintah Indonesia.
Indonesia menegaskan bahwa tuduhan “pemindahan paksa oleh pasukan keamanan” itu tidak benar dan bisa berdampak pada ketidakpercayaan publik terhadap aparat keamanan. Lebih lanjut, Febrian mengatakan bahwa pernyataan PBB itu bukan lah sebuah “desakan” atau “temuan”, melainkan hanya komunikasi biasa atara Dewan HAM PBB dengan negara anggotanya atas laporan yang mereka terima.
Menanggapi hal tersebut, Febrian mentakan bahwa Indonesia sudah memberikan klarifikasi yang dikirimkan langsung ke SPMH dan secara prosedural dianggap sudah selesai. Sehingga, secara sederhana Febrian menyebut tindak lanjut Indonesia atas desakan PBB adalah surat klarifikasi tersebut.
“Kenapa ada tindak lanjut? Kan kita sudah klarifikasi, berarti sudah ada tindak lanjut di dalam negeri. Yang kita jawab adalah apa yang sudah kita lakukan di dalam negeri. Bukan kita harus tanggung jawab atas pertanyaan itu, ini adalah pertanyaan yang diajukan oleh SPMH berdasarkan laporan dari pihak lain yang belum tentu ada kebenarannya,” kata Febrian.
Soal pembatasan akses, Duta Besar Indonesia mengaku tidak pernah melakukan hal tersebut. Kemudian soal penyelidikan independen. Febrian mengatakan bahwa hanya mekanisme yang ada di dalam negeri yang bisa memenuhi itu.
“Kita punya Komnas HAM yang independen, kita punya hukum yang terpisah dari kekuasaan. Tidak ada alasan untuk kita minta mekanisme di luar negara kita untuk masuk ke dalam mekanisme internal kita,” terang Febrian.
Soal penyangkalan, ini bukan kali pertama Indonesia melakukan hal demikian. Pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk PBB dan organisasi lain internasional di Jenewa menyangkal penyataan Pakar HAM PBB terkait pelanggaran hak asasi manusia dalam proyek Mandalika di Lombok.
Special Procedures Mandate Holders (SPMH) menyebut terdapat permasalahan HAM pada Proyek Pariwisata Bernilai lebih dari USD 3 Miliar. Hal ini ditercantum pada rilis berita SPMH pada pada 31 Maret 2021.
Sumber:
Redaksi BBC. 2022. Kekerasan di Papua: Pegiat benarkan akses bantuan ‘dibatasi aparat’, penyangkalan Indonesia ‘harus dibuktikan lewat penyelidikan independen’. BBC edisi 4 Maret 2022.
Widuri, Larawana Intan Sari. 2021. Indonesia Nyatakan Keberatan dengan Tuduhan Pelanggaran HAM atas Proyek Mandalika. Kbknews edisi 7 April 2021.