Tahun 2021 ini, limbah sisa pasir tambang atau tailing kembali menjadi pembicaraan. Sebabnya adalah, pemanfaatan limbah tersebut untuk berbagai keperluan pembangunan.
Trans Papua, misalnya, Kementerian PUPR menyebut mereka bekerja sama dengan PT Freeport untuk memanfaatkan tailing tersebut. Nantinya, pasir tersebut akan digunakan untuk membangun jalan yang menghubungkan Papua dan Papua Barat.
Selain jalan Trans Papua, hal serupa juga terjadi pada Merauke. Akhir tahun 2020, tailing yang berasal dari PT Freeport itu digunakan sebagai bahan agregat untuk keperluan pembangunan infrastruktur jalan di sana.
Setidaknya, ada sekitar 4.000 ton tailing yang dikirim ke Merauke. Rencananya, sejumlah limbah pasir tersebut akan dibuatkan Jetty Jembatan 2 Mill Post 11 Kabupaten Merauke. Akses dari Kabupaten Mimika ke Dermaga Kali Tamu di Merauke.
Penggunaan tailing sebagai material penyokong pembangunan disebut sebagai hal baru. Hal ini diungkapkan oleh Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Ini pertama kalinya pemerintah memanfaatkan tailing untuk pembangunan jalan di Papua,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, mengutip dari medcom.id, Selasa, (15/12/202).
Hal ini lantas dianggap sebagai terobosan baru dalam hal pembangunan infrastruktur. Begitu pula dalam hal pemanfaatan limbah.
Dampak Kolateral Si Limbah Pasir
“Selain telah memenuhi syarat baku mutu dari Kementerian PUPR, materi tailing PTFI juga telah memenuhi prosedur pemanfaatan tailing yang diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun,” ungkap Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR, Hedy Rahadian, mengutip dari Jubi.com, (16/12/2020).
Artinya, tailing sudah lolos uji sebagai bahan baku pembangunan. Pihak PT Freeport juga menyebut bahwa limbah mereka sudah lulus uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan Lethal Dose (LD50) di laboratorium independen yang terakreditasi.
Namun, ini tidak menafikan dampak tailing beberapa waktu lalu. Sebagai contoh, sebanyak 7.506 warga Mimika terisolasi akibat rembesan tailing pada tahun 2019. Jika dirinci, limbah itu berdampak pada 3.367 warga Distrik Mimika Timur, 930 orang di Distrik Agimuka, 1.688 Distrik Alama, dan 1.521 Distrik Jita.
Kasus ini adalah lanjutan dari perizinan penggunaan Sungai Ajkwa sebagai jalur pembuangan limbah tailing pada tahun 2006. Setahun setelahnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut terdapat banyak kandungan tembaga pada sungai tersebut.
Akibatnya, kandungan limbah mencemari ekosistem warga, membuat tanaman sagu sulit untuk tumbuh. Warga mulai kehilangan sagu sebagai sumber pangan mereka.
Kemelut Dampak Tailing PT Freeport
Tahun 2017, ditemukan bahwa limbah tersebut meluap. Idealnya, tailing akan ditampung pada badan Sungai Ajkwan seluas 230 Km. Namun, limbah tersebut meluap hingga ke muara sejauh 239 Km. Bahkan, tailing juga mengalir hingga ke Laut Arafura sejauh 120 Km.
Atas dampak tersebut, warga terisolasi. Endapan tailing membuat warga hanya bisa keluar saat air pasang saja.
Hal ini diungkapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Artinya, Freeport lalai dalam mengantisipasi dampak tailing. Atas dasar tersebut, BPK menaksir nilai kompensasi atas kerugian tersebut. Total hitungan kerusakan lingkungan akibat tailing Freeport mencapai angka Rp 185,01 triliun.
Dengan rincian: Rp 10,7 triliun dari kerusakan sebab kolam penampungan bocor; Rp 8,22 triliun atas muara yang rusak; Rp 166 triliun atas tailing yang mengalir ke Laut Arafura/
Freeport telah mengeluarkan dana kompensasi sebanyak Rp 155 miliar untuk Kabupaten Mimika dan Rp 187 miliar untuk Provinsi Papua. Lembaga Masyarakat Ada menerima Rp 900 juta dan masyarakat menerima Rp 10 juta per tahun.
Namun, dana tersebut mandek pada tahun 2015. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun senada dengan sikap WALHI dan BPK. Menurut mereka, hingga tahun 2018 terdapat 48 masalah terkait limbah tersebut.
KLHK memberikan solusi berupa dokumen Peta Jalan untuk 12 tahun ke depan, yakni 2018 hingga 2024 dan 2025-2030. Peta Jalan atau roadmap ini memuat kajian ekosistem yang akan didampingi oleh KLHK.
Lantas, apa kabar limbah tailing Freeport 2021?
Sumber:
Arumingtyas Lusia, Indra Nugraha. 2019. Peta Jalan Pengelolaan Limbah dan Kajian Lingkungan Freeport, Seperti Apa? Mongabay Edisi 10 January 2019
Banjarnahor, Donald. 2020. Tailing Freeport Dipakai untuk Bangun Infrastruktur Merauke. CNBC Indonesia edisi 18 Desember 2020
Sobolim David. 2019. Investigasi : Ikan berlumur tailing. Jubi edisi 2 Februari 2019
Tanpa Nama. 2020. Tailing Jadi Material Membangun Jalan di Papua. Medcom edisi 15 Desember 2020