Pernah bertanya mengapa begitu banyak kasus kejahatan lingkungan di Indonesia? Kasus pembalakan liar, pertambangan ilegal, hingga kerusakan lingkungan tidak ada habisnya menjadi tajuk utama di setiap tahunnya. Sebagai salah satu contoh kasus, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, kejahatan pembalakan liar menjadi kasus utama yang paling banyak ditangani Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Data Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, KLHK periode 2015-2021, memperlihatkan, kasus pembalakan liar yang mencakup kerusakan lingkungan, kebakaran hutan dan lahan, perambahan hutan, pencemaran, serta tumbuhan dan satwa liar masih paling tinggi.
Selama periode 2015-2020 terdapat 497 kasus pembalakan liar. Berdasarkan data KLHK, kasus paling tinggi mencapai 124 kasus ada di tahun 202. Disusul dengan tahun 2019 dengan 104 kasus, 94 kasus di tahun 2018, 66 kasus di tahun 2017, 66 kasus di 2016 dan 43 kasus di 2015.
Ternyata, kasus kejahatan lingkungan seperti pembalakan liar ini bukanlah kasus kejahatan tunggal. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan kasus tindak pidana pencucian uang sangat lekat dengan kasus kejahatan lingkungan. Kasus seperti ini disebut sebagai green financial crime (GFC).
Data dari Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) menyebutkan kejahatan lingkungan mencakup berbagai kegiatan mulai dari eksploitasi sumber daya alam, perdagangan sumber mineral, kehutanan hingga perdagangan limbah secara illegal. Para pelaku kejahatan lingkungan mampu meraup US$ 110 miliar – US$ 281 miliar atau Rp 1.540 triliun setiap tahun keuntungan.
PPATK melakukan analisis terkait GFC dan menyimpulkan bahwa nilai tindak kejahatan itu di Indonesia mencapai angka Rp 4.865.934.816.374 (triliun). Kejahatan pencucian uang di dalam kasus kejahatan lingkungan hasil dari analisis PPATK berlabuh pada 31 kasus dengan rincian sebagai berikut:
- 6 hasil analisis di bidang lingkungan hidup,
- 7 hasil analisis tindak pidana di bidang pertambangan,
- 4 hasil analisis, dan satu hasil pemeriksaan tindak pidana kehutanan,
- 3 hasil analisis tindak pidana di bidang perkebunan,
- 10 hasil analisis terkait perdagangan satwa liar,
- dan 1 hasil analisis terkait tp kelautan dan perikanan.
Tidak hanya merugikan negara secara finansial, GFC juga merugikan Indonesia dari segi lingkungan. Oleh sebabnya, PPATK menyebut bahwa GFC masuk ke dalam kejahatan luar biasa meski nominalnya masih jauh dari kejahatan lainnya seperti korupsi senilai Rp 81,3 triliun, perjudian Rp 81 triliun, namun lebih tinggi dari tindak pidana narkotika Rp 3,4 triliun, dan penggelapan dana yayasan Rp 1,7 triliun.
“Bahwa PPATK saat ini fokus terkait dengan green financial crime, kalau teman-teman pahami, tagline dari 22 dekade APU PPT Indonesia terkait green financial crime, ini kejahatan yang luar biasa yang bisa kita pahami bagaimana sumber daya alam dirusak secara ilegal, dan hasilnya itu dipakai untuk menguntungkan beberapa pihak ya, dan justru tidak dalam konteks kesejahteraan masyarakat,” tutur Ivan mengutip detik (03/03/2023).
Hal ini didukung oleh amandemen atas Perpres Nomor 117 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 6 Tahun 2012 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Perpres tersebut mengusulkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan masuk sebagai anggota Komite Pencegahan TPPU.
Green Financial Crime Bukan Hanya Pencucian Uang
“Tapi kalau menurut saya, dalam perpektif ilmu lingkungan, tentu saja tidak terbatas hanya pada yang illegal atau melanggar hukum saja. Yang sesuai dengan hukum pun, jika merusak lingkungan maka akan termasuk kategori green financial crime,” jelas Pakar Lingkungan UI, Mahawan Karuniasa soal Green Financial Crime.
Menurut Mahawan, GFC tidak melulu soal pencucian uang yang dilakukan dalam aktivitas kejahatan lingkungan. GFC juga mencakup pendanaan, investasi termasuk juga hasil atau income dan saving (simpanan) yang bersumber dari pendanaan dan investasi yang merusak lingkungan.
Secara keseluruhan, Mahawan mengatakan bahwa seluruh aktivitas yang men-deplesi sumber daya alam lingkungan dapat dikategorikan sebagai GFC. Termasuk green washing atau kegiatan ramah lingkungan yang bertujuan hanya untuk mencuci uang.
Kasus ini semakin marak ketika harga sumber dayanya semakin mahal di pasar. Ketika harganya naik, maka pelaku GFC semakin gencar melakukan investasi pada aktivitas eksploitasi SDA, sehingga semakin marak kasus kerusakan lingkungan. Menurutnya, pencegahan kasus GFC ini tidak hanya mengacu pada aturan lingkungan saja, namun juga soal investasi.
Mahawan menyebutkan bahwa Perppu No 2 CK 2022, peraturan pelaksanannya, terutama terkait investasi dan komponen sistem keuangan lainnya dapat memastikan tidak merusak lingkungan. Namun sayangnya, peraturan itu masih banyak bolongnya.
“Jika yang pandai mengatur, mulai dari pendanaan, investasi, akan menghasilkan income, saving, itu juga perlu dicermati. Karena selama ini, saya belum melihat sustainable report dari sektor keuangan yang mampu memenuhi kriteria ramah lingkungan atau sustainability. Masih banyak yang bolong-bolong,” tutur Mahawan.
Sumber:
Arumingtyas, Lusia. 2021. Kasus Pembalakan Liar Tinggi, Ini Kata Para Penegak Hukum. Mongabay edisi 4 May 2021.
Putri, Zunita. 2023. Tentang Green Financial Crime Kejahatan ‘Luar Biasa’ yang Jadi Fokus PPATK. Detik edisi 3 Maret 2023.
Supusepa, Ranny. 2023. Pakar Lingkungan UI: Asal Merusak Lingkungan, Dapat Disebut Crime. Kedaipena edisi 22 Januari 2023.
Rachman, Arrijal. 2023. PPATK: Pencucian Uang di 2 Sektor Ini Udah Triliunan. CNBC Indonesia edisi 14 February 2023.