Sejalan dengan disahkannya Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (RUU Minerba) menjadi Undang-Undang, beberapa nilai akan menjadi sebuah pertentangan yang mereduksi manfaat dari UU tersebut.
Adat dan agama akan terkikis nilai sosialnya, akibat konflik perebutan wilayah yang sudah pasti akan mengabaikan satu tungku, tiga batu dalam kaitannya terkait dengan praktek berbangsa dan bernegara.
Sejalan dengan itu, perebutan Sumber Daya Alam akan memunculkan berbagai konflik di Tanah Papua yang bisa mengeskalasi pelanggaran HAM. Untuk menghindari terjadinya hal ini, negara harus hadir sebagai pembenahan, serta menegakkan keadilan ekologi yang berimplikasi pada keselamatan manusia.
Politik menjadi cerita jenaka Jakarta yang terus membangun oligarki kekuasaan tanpa melihat aspek kebinekaan kita yang terus terkikis, akibat perubahan ideologi dari negara yang berorientasi pada bisnis semata.
Dampak dari kebijakan itu masyarakat adat Papua makin tersingkir, dan ruang-ruang demokrasi mulai ditekan agar hilang. Menarik sebenarnya untuk mendiskusikan kerentanan tersebut.
Kebijakan perlindungan ekologi hanya sebagai jargon namun di balik itu semua, konstruksi negara belum sepenuhnya memprioritaskan pada pembangunan sosionasionalisme kebudayaan yang bertujuan memanusiakan manusia untuk menjadi berdikari di atas tanahnya sendiri.
Masyarakat Papua masih bergerak pada tataran proyek pemerintah, belum pada usaha yang bergerak pada sektor Pengelolaam sumberdaya alam.
Sedangkan pada aspek pengelolaan sumber daya alam masih menjadi domainnya pemerintah, dan pada paket-paket pemerintah. Rakyat sendiri masih apatis untuk mengelola sumber daya alamnya sebagai nilai untuk meningkatkan ekonomi. Hal ini masih perlu juga dibongkar cara berpikirnya. Sehinggga pentingnya negara hadir bersama rakyat untuk bisa bergerak pada sektor-sektor itu.