Sorong – Ujaran kebencian yang mengancam kebhinnekaan bangsa Indonesia kembali terjadi, kali ini menjelang pencalonan Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiw (ARUS) sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat Daya dalam Pilkada pertama bagi provinsi yang baru terbentuk ini.
Pada 6 September 2024, sekelompok individu yang mengatasnamakan Orang Asli Papua (OAP) mendatangi Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya di Sorong. Mereka mendesak agar MRP menolak pencalonan Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiw dengan alasan bahwa keduanya bukan OAP. MRP pun mengeluarkan keputusan diskriminatif yang dinilai tidak berdasarkan pertimbangan hukum yang kuat.
Dalam maklumatnya, MRP menyebutkan bahwa alasan penolakan terhadap Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiw adalah karena keduanya dianggap bukan OAP, meskipun lahir dari rahim perempuan Papua. Klaim tersebut memicu kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan masyarakat yang mendukung pencalonan pasangan ARUS.
Yohanes Akwan, Direktur Eksekutif YLBH Sisar Matiti, menegaskan bahwa pihaknya sangat menghargai hak politik dan kebebasan berpendapat. Namun, kampanye yang menyebarkan kebencian dan ajakan diskriminasi atas dasar rasial atau agama merupakan ancaman bagi integrasi nasional, demokrasi, dan keberagaman di Papua. “Sikap seperti ini adalah tindakan melawan hukum,” ujar Yohanes.
Ia melanjutkan bahwa, “Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menjamin kesetaraan setiap warga negara dalam pemerintahan tanpa membedakan agama dan ras. Pasal 20 ayat (2) Konvenan Hak Sipil dan Politik PBB juga menegaskan bahwa tindakan yang mengajarkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama yang menghasut diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan adalah dilarang.”
Yohanes mengingatkan bahwa tindakan kelompok tertentu yang menyebarkan ujaran kebencian ini melanggar Pasal 28 ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 16 UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pelanggaran ini, lanjutnya, merupakan tindak pidana dengan ancaman hukuman yang berat.
YLBH Sisar Matiti mendesak pemerintah agar tidak tinggal diam terhadap situasi ini. “Negara, melalui aparat penegak hukum, harus hadir dan bertindak tegas terhadap ujaran kebencian yang disampaikan oleh individu atau kelompok, termasuk dalam kasus MRP ini,” kata Yohanes.
Selain itu, YLBH Sisar Matiti juga meminta negara untuk proaktif dalam mencegah segala bentuk tindakan yang mengajarkan kebencian berdasarkan kebangsaan, ras, atau agama yang dapat memicu diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Yohanes juga mengingatkan agar tindakan anarkis yang merusak fasilitas umum dalam aksi penolakan terhadap Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiw harus ditindak tegas oleh pihak berwenang.