“Selama puluhan tahun, Jakarta menerapkan pendekatan keamanan dalam mengatasi konflik di Papua, selama itu pula korban terus berjatuhan. Pendekatan keamanan terbukti tidak menyelesaikan kekerasan di Papua. Namun negara tidak pernah belajar dari pengalaman ini,” ungkap Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam tulisannya di bulan April 2023.
Ungkapan tersebut menanggapi status siaga tempur di Papua yang diamanatkan oleh TNI Laksamana Yudo Margono. Lantas, apa makna dari status Siaga Tempur itu? Bukankah operasi militer di Papua sudah ada sejak lama?
Pengamat militer dari Institute For Security & Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi menjelaskan bahwa Siaga Tempur berarti semua pasukan di daerah terentu sudah siap menembak. Dalam hal ini, di Papua. Operasi Siaga Tempur diluncurkan menanggapi penyerangan terhadap personel TNI pada 15 Apri.
“Yang dimaksud siaga tempur itu, pasukan berada di titik-titik yang diatur, (mereka) dalam posisi siap melepas tembakan jika diserang, dan siap melawan jika ada serangan,” jelas Fami mengutip CNN (20/04/23).
Namun, Amnesty International menyayangkan hal ini. Pasalnya, operasi ini juga berisiko terhadap keamanan masyarakat Papua. Potensi pelanggaran HAM akan jauh lebih tinggi ketika pemerintah memutuskan untuk melakukan pendekatan keras seperti ini.
“Terlebih lagi pemberlakuan siaga tempur ini meningkatkan risiko keselamatan warga sipil di sana dan juga pilot Susi Air asal Selandia Baru, Phillip Mehrtens, yang masih disandera kelompok pro-kemerdekaan pimpinan Egianus Kogoya. Potensi pelanggaran HAM dengan korban jiwa juga makin besar, apabila kita merujuk pada insiden kekerasan empat tahun belakangan ini. Dan korbannya tidak hanya warga sipil, namun juga dari kalangan aparat keamanan,” ungkap Usman dalam web Amnesty.
“Secara otomatis, status ini pun berisiko menimbulkan eskalasi kekerasan di Papua. Kami mengingatkan bahwa kondisi HAM di Papua sudah sangat mengkhawatirkan. Kami mencatat dalam lima tahun terakhir setidaknya sudah 179 warga meninggal dalam puluhan kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan dan kelompok pro-kemerdekaan Papua,” sambungnya.
Soal Operasi Siaga Tempur, Siapa yang Dibasmi?
Aktivis HAM Natalius Pigai keras menanggapi status Siaga Tempur di Papua. Menurutnya, operasi semacam ini tidak bijak dan bukan solusi dari konflik di Papua. Ia bahkan menyebut di era Jokowi sudah ada 5 kali perintah serupa yang menurutnya tidak membuahkan hasil.
“Jokowi 5 kali perintah lebih dari Siaga Tempur ‘Operasi Militer’,” ungkapnya dikutip fajar.co.id, Selasa (18/4/2023).
Ia menambahkan bahwa operasi militer justru berpotensi menambah korban jiwa dari kalangan rakyat Papua, dan bukan Tentara Pembebasan Nasional (TPN) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM).
“Deploy TNI skala besar hanya Rakyat dibunuh bukan TPN/OPM artinya pembasmian ras Papua,” ujarnya.
“Rakyat Papua tidak takut istilah sampah itu. Buka dialog damai,” sambungnya.
Hal ini sejalan dengan apa yang dituntut oleh Amnesty Internasional. Mereka menyerukan agar aparat keamanan segera menghentikan operasi militer dengan status siaga tempur TNI, mengedepankan pendekatan dialog dengan kelompok pro-kemerdekaan dan pihak-pihak terkait untuk mencegah potensi pelanggaran HAM dan krisis kemanusiaan yang lebih besar.
“Kami juga mendesak agar proses pembebasan sandera dilakukan tanpa menimbulkan korban sipil,” ungkap Usman di web Amnesty.
Pasalnya, pengerahan TNI di Papua masih menjadi masalah oleh sebagian pihak. Pasal 17 Undang-undang No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menyebutkan bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI merupakan kewenangan Presiden dan harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Hingga ini, arahan ini bahkan simpang siur.
Referensi:
Amnesty International. 2023.Status Siaga Tempur di Papua Berisiko Timbulkan Banyak Korban. Edisi April 18, 2023