Bintuni – BUR. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti sebagai lembaga yang berkomitmen untuk melindungi hak-hak masyarakat adat di Papua Barat, kembali mengadakan dialog interaktif pada (06/12) di Gedung Serba Guna, Kabupaten Teluk Bintuni.
Setelah sukses menyelenggarakan Dialog Interaktif di Manokwari sebelumnya, kali ini YLBH Sisar Matiti mengangkat tema “Strategi Perlindungan dan Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat”.
Yohanes Akwan, SH., selaku Direktur Eksekutif dan juga pemrakarsa dialog ini dalam pembukaannya mengatakan bahwa, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat merupakan pijakan awal bagi kebebasan ekonomi Orang Asli Papua.
“Kami percaya dengan diadakan dialog ini menjadi langkah awal untuk membangun komunikasi, konsolidasi untuk terus merawat kebersamaan dalam konteks hukum dan keadilan masyarakat adat di Teluk Bintuni. Telah disahkannya Perdasus tentang perlindungan masyarakat adat. Apa yang menjadi konsern dari Perdasus tersebut? Inilah pentingnya berdiskusi. Masyarakat sudah memiliki senjata, dengan adanya perdasus ini. Kita harus bisa pergunakan,” ucapnya ketika membuka dialog.
Dialog ini menghadirkan Haris Azhar, selaku direktur Lokantara, Dr Alimudin Baedu, Kepala Bappeda sebagai perwakilan pemerintah daerah, Ibu M Kawab sebagai Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), dan Sem Awom selaku perwakilan Dewan Adat Papua Wilayah Domberay, juga mewakili Kontras Papua.
Acara yang juga dihadiri pada ketua LMA Adat Tujuh Suku di Bintuni itu dikemas apik dalam dialog yang intens namun solutif, dan dipandu oleh Sekertaris KNPI Papua Barat, Jemy Lusianda sebagai moderator.
Memetakan Masalah Adat Sebagai Implementasi Perdasus Masyarakat Adat
Menurut Haris Azhar, meskipun ada Permendagri yang mengatur tentang pengakuan masyarakat adat, namun tidak serta merta peraturan tersebut bisa diimplementasikan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat adat itu sendiri.
“Permendagri itu tidak otomatis melindungi keberadaan masyarakat adat, karena hanya mengatur sisi administrasi. Harus ada kajian akademisnya dulu. Sekarang kita harus memetakan permasalahan akar dari Papua itu sendiri seperti apa dengan adanya peraturan ini. Harus ada kajian dari kampus-kampus. Coba dicek, ada atau tidak? Sedangkan suku di Papua yang lebih dari 200 tidak punya kajian antropologi yang memeriksa sejauh mana suku-suku itu berada, asal-muasal dan lain-lain. Jadi permendagri itu tidak menjawab masalah, masalah Papua ini kompleks” ungkapnya.
Pernyataan Haris ini kemudian mendapatkan sambutan dari Alimudin Baedu yang kemudian memaparkan tentang kinerja Pemerintah Daerah Teluk Bintuni, yang telah mengeluarkan Perda Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat.
“Melihat kompleksitas daerah Bintuni yang luasnya 26 kali dari Jakarta, kami ingin menghadirkan sebuah peraturan yang tidak semu bagi masyarakat. Ini sebagai bagian atau solusi pemerintah daerah terhadap investasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat di Bintuni. Jadi perizinan-perizinan yang ada di sini, seperti LNG Tangguh yang sudah berjalan sampai train 3, dan kemudian nanti juga ada Petrokimia, kami tidak punya kewenangan di situ, karena izin semua dari pusat. Nah, bagaimana kami menyiasatinya? Kami buatkan regulasi,” jelas Alimudin.
Ia melanjutkan penjelasannya dengan berharap agar Perdasus yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Daerah, bisa memberikan rasa aman dan nyaman bagi kebebasan ekonomi masyarakat adat Papua. Namun, ia juga tidak menafikkan, bahwa inti permasalahan dari investasi yang tidak dirasakan langsung oleh masyarakat adat, adalah karena kewenangan yang terputus pada tingkatan pemerintah pusat.
“Kami itu sebetulnya juga sedih dan berdarah-darah memperjuangkan hak daerah penghasil SDA ini di Jakarta. Namun tangan kami terikat regulasi. Bagaimana tidak, seperti LNG Tangguh yang sudah beroperasi sekian lama di Bintuni, namun tingkat pengangguran mencapai 8,5%. Oleh karena itu, untuk investasi baru yang akan masuk, akan kami kawal AMDALnya secara mendetail, Saya juga setuju dengan Yohanes Akwan maupun Pak Haris ini, masyarakat harus juga ikut berjuang. Bagaimana? Kita harus bersatu. Tujuh suku bersinergi dengan pemerintah, agar mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat maupun LNG Tangguh” terangnya.
Sedangkan dari Wakil Ketua MRP, Ibu M Kawab pada saat diskusi lebih mempertanyakan dan memberikan masukan kepada pemerintah soal penyerapan tenaga kerja.
“Saya ini keliling Bintuni dari satu distrik ke distrik lainnya, yang saya lihat permasalahannya adalah lapangan pekerjaan dan sarana prasarananya. Misalnya Pusat Pelatihan Teknik Industri dan Migas (P2TIM) yang telah meluluskan ratusan tenaga kerja siap pakai, tolonglah misalnya kalau mereka mau bekerja di luar, bisa difasilitasi dengan misalnya vaksinasi, dan lainnya,” harapnya.
Sem Awom seperti pada sesi dialog di Manokwari pada (4/12), memaparkan hal yang sama. Bahwa permasalahan yang ada di Papua adalah permasalahan investasi yang tidak dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat. http://bicarauntukrakyat.com/2021/12/06/membuka-dialog-inklusif-untuk-mengenal-papua-lebih-jauh/
“Jadi melalui UU Otsus ini, kami yang punya rumah, tapi kami Papua ini cuma urus halaman, urus kebun. Tapi apa yang mereka masak di dalam dapur, kami tidak tahu,” tegasnya.
Audit Hak Masyarakat Adat Tujuh Suku Sebagai Implementasi Perdasus
Dialog yang berlangsung cukup intens ini, akhirnya menemukan sebuah jalan sebagai solusi dan langkah awal dalam melindungi hak-hak adat di Teluk Bintuni.
“Dengan adanya Perdasus ini, betul ini bisa dijadikan sebagai senjata masyarakat adat dalam meminta hak mereka. Nah bagaimana caranya? Buka surat kuasa ke YLBH Sisar Matiti, kemudian ambil langkah-langkah hukum yang diperlukan. Pertama-tama, masukkan surat ke bupati agar segera melakukan audit hak masyarakat adat sesuai perdasus yang telah dibuat. Buat tim audit, jadi permasalahan di setiap suku ini bisa dipetakan secara detail, hal ini kemudian dilaporkan kembali ke pemerintah daerah. Ini adalah langkah awal, pemerintah bersinergi bersama rakyatnya. Kemudian dari situ baru kita lakukan langkah-langkah lainnya melawan korporasi demi kebabasan ekonomi. Percuma toh, buat apa punya Perda kalau tidak mempunyai manfaat langsung? pungkasnya.