HomeKabar BintuniMembuka Dialog Inklusif Untuk Mengenal Papua Lebih Jauh

Membuka Dialog Inklusif Untuk Mengenal Papua Lebih Jauh

Dialog Interaktif Ekonomi Politik sebagai Akar Masalah di Papua, Manokwari (4/12)

Bintuni, BUR – Yayasan Lembaga Hukum Sisar Matiti menjadi menjadi inisiator disediakannya forum untuk menguji permasalahan di Papua yang sebenarnya, dengan mengadakan seminar yang digelar di dua tempat; yakni Kabupaten Manokwari (4/12) dan Kabupaten Teluk Bintuni (6/12).

Forum yang digagas oleh Yohanes Akwan selaku direktur eksekutif YLBH ini menjadi ajang diskusi dan dihadiri oleh berbagai kalangan yang selama ini bertikai di Papua.

Ajang diskusi yang dilangsungkan di Hotel Swiss-Bel Manokwari dan diberi tema Ekonomi Politik Sebagai Akar Masalah di Papua ini menghadirkan beberapa pihak untuk duduk dan berbicara, agar masyarakat Indonesia secara luas bisa mengenal betul apa dan bagaimana itu Papua.

Sebagai narasumber, YLBH Sisar Matiti menghadirkan Yan Christian Warinussy dari LP3BH, Manokwari, Hariz Azhar, pegiat HAM sekaligus Direktur Lokantaru Law Firm, Anike Sabani, tokoh perempuan Papua, Sem Awom, dari Kontras Papua, Majelis Rakyat Papua yang diwakili oleh Anton Rumbruren, SH MH, Gubernur Papua Barat yang diwakili oleh Kepala Biro Pemerintahan serta turut pula mengundang dari pihak Kepala Kepolisian Daerah Papua Barat, namun yang bersangkutan berhalangan untuk hadir.

Pokok Permasalahan di Papua

Dari diskusi yang berlangsung selama lima jam ini, terdapat beberapa permasalahan pokok yang selama ini selalu dihindari atau bisa dikatakan abai untuk dibicarakan oleh Pemerintah Pusat, untuk mencari solusi.

Memori Pasionis dan Stigma yang Terawat di Papua

Permasalahan utama bagi masyarakat Papua adalah memori pasionis. Menurut Yan Warinusi dan Haris Azhar, masyarakat Papua terus menerus diingatkan terhadap penderitaan mereka sejak zaman integrasi dahulu.

Hal ini bisa terjadi, karena sejak zaman integrasi, kekerasan HAM terus berulang hingga kini, dan pemerintah tidak pernah mau membuka ruang untuk menyelesaikannya.

“alih-alih menyentuh akar permasalahan di Papua, negara membentuk UU Otsus, yang sudah dibuktikan tidak bisa menjadi treatment bagi masyarakat Papua. Pun ketika UU Otsus ini diamandemen, sejumlah pasal yang diharapkan masuk sebagai regulasi untuk melindungi masyarakat adat, ternyata tidak ada,” ungkap Yan.

Menurut Haris Azhar, kekerasan dan pelanggaran HAM ini enggan dibahas oleh pemerintah karena kompleksitasnya, dan keinginan untuk mempreservasi pun melanggengkan hal ini di Papua.

“Permasalahan di Papua adalah gagalnya negara dalam mengelola masyarakatnya. Munculnya Otsus yang awalnya digadang-gadang sebagai solusi untuk Papua, hanya menimbulkan masalah, dan pada kenyataannya seperti itu,” jelas Haris Azhar.

“Munculnya Otsus itu hampir bersamaan dengan pemekaran provinsi di Papua, dan ke depan, akan dimekarkan lagi menjadi empat. Ini akan menimbulkan permasalahan baru lagi, akan ada perebutan kekuasaan administrasi yang baru.  Berlomba-lomba melobi APBN, dan pemerintah melanggengkan ini, dan stigma bahwa orang Papua itu hanya bisa cari uang ini akan terus diawetkan,” lanjut Haris.

Rutinitas dan Investasi yang Tak Kunjung Basi

Papua merupakan daerah dengan kekayaan alam yang lengkap dan menarik minat dunia untuk dieksploitas. Hal ini sudah berlangsung sejak zaman pra kemerdekaan. Menurut Sem Awom, permasalahan di Papua, bukanlah permasalahan teritori, melainkan permasalahan investasi.

“Pergolakan Indonesia – Belanda dahulu itu sebenarnya berbicara bagaimana mereka mengeruk kekayaan Papua. Dari 1937 sudah ada eksploitasi. Ini persoalan. Ini semua tentang siapa makan apa di Papua. Di Bintuni sejak tahun itu, sudah ada eksploitas batu bara oleh Belanda, dan sekarang diteruskan dengan eksploitas sumber daya yang lain, dan sejak Pepera, yang menjadi penyokongnya adalah militer,” terang Sem.

Lanjut menurut Sem, jika hingga sekarang permasalahan Papua tidak pernah bisa selesai, itu karena semakin kuatnya resistensi dari masyarakat adat untuk mempertahankan kekayaan alamnya, yang selama ini dinikmati bukan oleh mereka sendiri.

“Kisor yang sekarang sedang bergejolak itu contohnya. Itu daerah sangat kaya. Ada emas, minyak dan segala macam. Jadi saya lihat itu masyarakat adat yang sedang mempertahankan haknya. Dan yang menjadi korban siapa? Rakyat dan juga militer itu sendiri, bayangkan prajurit-prajurit muda yang tidak mengerti apa-apa diturunkan di daerah konflik, mereka juga stres,” ungkapnya.

Selain itu, menurut Haris Azhar, ada sebuah rutinitas dari negara yang sengaja menjebak orang Papua untuk berkutat pada hal-hal yang tidak substantif soal bagaimana mengelola kehidupan bersama.

“Orang Papua disibukkan berebut kue sebagai pejabat, seolah-olah dilenakan oleh titel itu. Bahwa kepala daerah harus Orang Asli Papua, akhirnya apa? Kehidupan ekonomi, tidak menjadi fokus dari mereka sendiri. Kita harus belajar menjadi pemilik kehidupan sendiri, belajar menjadi tuan di tanah sendiri. Sedangkan untuk MRP atau DAP, disibukkan dengan diskusi-diskusi, ini rutinitas yang saya maksud. Rutinitas untuk tetap melanggengkan stigma dan juga menghindarkan orang Papua untuk berpikir mengenai kemerdekaan secara ekonomi,” ujar Haris.

Menghapus Stigma, Membuka Dialog Substantif sebagai Solusi

Dialog yang juga dihadiri oleh perwakilan dari Dewan Perwakilan Adat dan Gubernur Papua Merdeka ini berlangsung solutif. Dari serangkaian pemaparan oleh narasumber, menurut Markus Henu, Gubernur Papua Merdeka, dialog ini harus dilakukan lebih intens lagi.

“kami apresiasi dialog yang diinisiasi oleh Sisar Matiti, diskusi seperti ini perlu dan penting bagi kami. Tapi saya kecewa, seharusnya Gubernur dan DPR Fraksi Otsus hadir dan mendengarkan kita. Tapi ruang ini sebagai pemantik dialog yang selanjutnya, kami harapkan ada terus,” ungkapnya.

Sedangkan menurut Horota dari Dewan Perwakilan Adat, dialog yang sudah dilakukan dan dikemas secara apik ini, harus bisa dijadikan pedoman untuk Jakarta.

“Pusat itu jangan bicara Otsus terus, kenyataannya sejak 20 tahun berjalan, apakah mama jual pinang sudah meningkat ekonominya? Apa dia sudah punya kios atau ruko pinang? Kan tidak. Jadi apa yang dirangkum hari ini harusnya menjadi pedoman Jakarta untuk bisa berbuat lebih bagi masyarakat Papua,” kata Horota.

Selain itu, Ibu Anike Sabani sebagai tokoh perempuan Papua mengungkap, masalah stigma dan kekerasan yang selama ini menjadi permasalahan di Papua harus segera ditanggapi oleh pemerintah pusat.

“Banyak kasus pelanggaran HAM sejak tahun 63 sampai sekarang, menyisakan penderitaan bagi kami mama papua, kami harus menyaksikan anak-anak kami menjadi korban intimidasi, pemerkosaan dan penyiksaan. Jangan lagi bunuh anak-anak papua di tanah Papua. Mari kita semua berdialog. Pemerintah jangan alergi, mau itu Papua merdeka atau tidak, itu urusan Tuhan. Yang penting kami sebagai perempuan sudah cukup menangisi mayat anak kami yang menjadi korban. Stop sampai di sini,” tegasnya.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments