Menengok kembali apa yang terjadi di bulan November lalu, masyarakat adat menemukan angin segar dalam memperoleh hak konstitusional mereka. Pada 08 – 09 November 2021 kegiatan Dialog Kebijakan di Gedung Putih Trinati, Kota Teminabuan, Sorong Selatan, merupakan titik cerah dari kasus tersebut.
Dalam kegiatan Dialog Kebijakan tersebut, muncul satu kesepakatan utama perihal keterlibatan masyarakat adat dalam rancangan kebijakan peraturan daerah. Hal ini mencakup sejumlah hak, antara lain: (1) hak untuk menguasai dan memiliki, mengelola dan memanfaatkan tanah adat, hutan, dan kekayaan alam lainnya; (2) hak menyelenggarakan kelembagaan adat, hukum adat dan peradilan adat; (3) hak untuk melindungi dan melestarikan adat istiadat, bahasa, pendidikan adat, tempat sakral dan kepercayaan.
Kemudian, (4) hak untuk menentukan pembangunan; (5) hak bebas untuk dipilih sebagai wakil rakyat, menentukan dan memilih wakil rakyat; (6) hak perempuan adat; (7) hak untuk mendapatkan dan melakukan perlindungan lingkungan yang sehat; (8) hak mendapatkan pemulihan atas pelanggaran hak-hak masyarakat adat; (9) hak masyarakat adat untuk bebas berkumpul dan berpendapat.
Dialog tersebut diikuti oleh perwakilan masyarakat adat dari sejumlah wilayah. Antara lain perwakilan masyarakat adat dari Distrik Saifi, Seremuk, Teminabuan, Wayer, Moswaren, Konda, Kais, Kais Darat dan Inanwatan.
Adapun lembaga yang turut serta acara tersebut Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Sorong Selatan, DPMA Knasaimos, DAP Sorong Selatan, LPHD Sira – Mangroholo, LMA Sorong, AMAN Sorong Raya, Samdhana Institute, Greenpeace Indonesia, Bentara Papua, ECONUSA, PBHKP, PMKRI, GMKI, GAMKI, GMNI dan relawan pemuda.
Hasil konkret dialog ini terlihat dalam salah satu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat adat Distrik Konda. Sopice Sawor, tokoh perempuan adat dari Distrik Konda, menyebut masyarakat adat Sub Suku Afsya dan Nakna di Distrik Konda tengah membuat peta tanah dan hutan adat.
“Saat ini, kami masyarakat adat Sub Suku Afsya dan Nakna di Distrik Konda sudah duduk dan sedang membuat peta tanah dan hutan adat, peta tempat-tempat penting, yang kami minta pemerintah akui dan lindungi hak masyarakat adat,” ungkap Sopice Sawor mengutip Greenpeace.
Ini merupakan progres yang cukup signifikan mengingat tahun 2020 lalu perhatian pemerintah terhadap hutan adat masih minim. Berdasarkan data anggaran Dinas Kehutanan tahun 2017 hingga 2020, program pemberdayaan masyarakat dan perhutanan sosial tidak berjalan maksimal.
Tahun 2018, pemerintah mengucurkan dana Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi (DBH-DR) sebesar Rp 39,6 milyar untuk Papua. Namun, alokasi untuk pembuatan peta lahan hutan wilayah adat tidak ada.
Pencabutan Izin Sawit Papua: Awal Kolaborasi Pemerintah dan Masyarakat?
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante menegaskan sejumlah hak konstitusional masyarakat adat yang harus dipenuhi pemerintah. Hak tersebut mencakup kebijakan pengakuan, perlindungan dan penghormatan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.
“Negara harus hadir untuk memenuhi hak itu,” ungkap Franky.
Menyambut hal tersebut, Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Sorong Selatan, Theodorus H. Thesia, SH, mengatakan menyambut baik aspirasi rakyat dalam hal pengakuan masyarakat adat. Hal ini ditandai dengan penetapan ranperda pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat sebagai salah satu program Bapemperda DPRD telah tahun 2021.
“DPRD Kabupaten Sorong Selatan telah melakukan sidang pleno mendiskusikan rancangan perda tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Sorong Selatan, namun masih diperlukan pembobotan dan masukkan materi rancangan perda”, jelas Theodorus.
“DPRD akan usahakan perda ini segera bisa ditetapkan, disosialisasikan dan diundangkan dalam lembaran daerah di Sorong Selatan,” imbuhnya.
Pihak Bapemperda mengaku siap menerima masukkan dari masyarakat adat, relawan pemuda dan organisasi masyarakat sipil dalam perumusan perundang-undangan daerah. Mulai dari hal pembobotan dan memperkaya legal drafting, termasuk penyelesaian naskah akademik.
Nicodemus Wamafma, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, melihat hal ini sebagai inisiatif DPRD yang membahagiakan. Apakah ini awal mula kolaborasi pemerintah dengan masyarakat?
Sumber:
Elisabeth, Asrida. 2020. Catatan Akhir Tahun: Perhutanan Sosial, dan Sulitnya Penetapan Hutan Adat di Tanah Papua. Mongabay edisi 24 December 2020.
Greenpeace Indonesia. 2021. Masyarakat Adat Papua di Kabupaten Sorong Selatan Menekankan Perlunya Keterlibatan Masyarakat dalam Proses dan Penyusunan Kebijakan Daerah. Edisi 15 November 2021.