HomeKabar BintuniMengamati ‘Colliding Ecologies’ Pada Kasus Lingkungan di Papua

Mengamati ‘Colliding Ecologies’ Pada Kasus Lingkungan di Papua

Ilustra Kasuari. Sumber: pixabay

Sejumlah peneliti lingkungan memperhatikan dampak dari perubahan ekologi bagi masyarakat sekitar. Stuart Kirsch dan Chris Hebdon, misalnya. 

Mereka menemukan masyarakat Yonggom yang tinggal di sekitar sungai Ok Tedi terdampak oleh aktivitas penambangan. Sungai tempat mereka tinggal dipenuhi limbah pasir yang merusak lebih dari ribuan kilometer hutan. 

Ketika dampak sebuah industri lebih besar daripada manfaatnya, maka hal ini yang mereka sebut sebagai tabrakan ekologi atau colliding ecologies. Secara sederhana, terdapat satu ekologi yang mendominasi ekologi lainnya. 

“Ketidaksesuaian antara penambangan skala besar dan praktik subsisten asli adalah contoh dari apa yang saya sebut ‘ekologi bertabrakan’,” ungkap Stuart Kirsch dalam wawancara bersama aesenggagement, tahun 2015 lalu.

Ekologi dapat dimaknai sebagai hubungan antara manusia dengan alam. Dalam kasus aktivitas tambang di sungai Ok Tedi, terdapat dua bentuk ekologi. Pertama, pertambangan yang merupakan aktivitas manusia mengeksploitasi alam. Kedua, aktivitas masyarakat Yonggom dengan alam secara tradisional.

Bayangkan, tak hanya dampak lingkungan. Namun tabrakan ekologi ini menyebabkan yang kita tahu sebagai perubahan ekologi. Artinya, perilaku masyarakat setempat pun berubah. 

Stuart Kirsch menyebut banyak masyarakat yang mulai tidak peduli dengan kehidupan tradisional. Hal ini dipicu dari peluang kerja dengan gaji besar yang ditawarkan oleh perusahaan sekitar, khususnya industri tambang.

“Upah yang lebih tinggi yang dibayarkan oleh industri pertambangan, meskipun pekerjaan ini relatif sedikit dan jarang, dapat membuat orang lain enggan untuk terus terlibat dalam bentuk aktivitas tradisional,” ungkapnya.

Kala Sawit Merubah Perilaku Kasuari

Colliding ecologies tak hanya berdampak pada perilaku manusia. Dalam kasus lainnya, tabrakan ekologi ini merubah perilaku hewan. Hal ini diungkapkan oleh Sophie Chao, seorang antropolog asal Australia.

Dalam jurnalnya berjudul The Plastic Cassowary: Problematic ‘Pets’ in West Papua, ia melihat dampak yang diberikan oleh ekspansi sawit kepada hewan. Umumnya, kasuari yang hidup di Kampung Khalaoyam, Papua Barat, makan tumbuhan liar seperti buah yang jatuh atau serangga. 

Kasuari biasanya hanya makan buah yang belum matang. Namun, ekspansi sawit membuat makanan kasuari berkurang. Mereka kehilangan rumah mereka dan mulai tinggal bersama warga Desa Khalaoyam.

Ruben, salah satu kasuari domestik warga Desa Khalaoyam menjadi salah satu contoh kasus. Ruben tak lagi pandai berburu dan mencari. Pola makannya pun berubah. Ia tak lagi suka makan dari alam, bahkan sagu pun ia tolak. Ruben lebih memilih makan nasi, mi instan, bahkan biskuit. 

“Akhirnya, mereka menyadari kasuari hanya menerima makanan yang dibeli seperti nasi mentah, biskuit, dan mie instan,” mengutip dari artikel Sophie Chao berjudul The Plastic Cassowary: Problematic ‘Pets’ in West Papua.

Warga berusaha untuk mengembalikan insting binatang pada Ruben dengan membawanya ke hutan. Namun, hewan ini kembali ke permukiman dan mengambil makanan manusia. 

Sophie melihat fenomena ini sebagai bentuk tabrakan ekologi. Ia melihat bagaimana ekspansi sawit tak hanya merubah hubungan manusia dengan alam, bahkan dengan hewan. 

Kini, Ruben tinggal bersama warga Desa Khalaoyam sebagai pengungsi. 

 

Sumber:

Tanpa nama. 2015. Mining Capitalism: An Interview with Stuart Kirsch. AesEnggagement edisi 14 Desember 2015.

Cao, Sophie. 2018. The Plastic Cassowary: Problematic ‘Pets’ in West Papua. Researchgate.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments