HomeKabar BintuniMengkaji Sentient Ecology dari Kacamata Suku Marind Anim, Papua

Mengkaji Sentient Ecology dari Kacamata Suku Marind Anim, Papua

Ilustrasi Sawit. Sumber: Pixabay

Industrialisasi dan modernisasi tak selalu berwajah manis. Kadang, ia berwajah masam. Bahkan, ia dapat menjadi momok. Inilah yang dirasakan masyarakat Suku Marind Anim, Desan Khalaoyam, Provinsi Papua.

Kisa ini berasal dari peneliti asal Australia, Sophie Chao, dalam desertasinya. Dalam penelitiannya, kehadiran kebun sawit menjadi malapetaka. Sophie mengisahkan bahwa warga Suku Marind kerap disambangi mimpi buruk.

Salah seorang warga bertutur ia melihat dirinya dimakan oleh pohon kelapa sawit dalam mimpinya. Mimpi buruk adalah representasi dari ketakutan dari seorang individu yang menyelinap di alam bawah sadarnya. Artinya, mimpi buruk itu punya kaitan dengan apa yang terjadi pada masyarakat Marind Anim.

Faktanya, Desa Khaolayam menjadi wilayah yang terdampak dari ekspansi kebun sawit  di bawah Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau Kawasan Makanan dan Energi Terpadu Merauke. Proyek tersebut bertujuan mengkonversi setidaknya satu juta hektar hutan menjadi lahan yang komersial. Termasuk permukiman Suku Marind Anim.

Sophie Chao menyebut ekspansi ini tak hanya berdampak pada segi ekonomi dan sosial masyarakat Marind Anim, namun juga aspek psikologis. Ia menyebut bahwa masyarakat Marind Anim menganggap hutan sebagai “Sentient Ecology’. Apa itu sentient ecology? Dan apa pengaruhnya bagi Suku Marind Anim?

Kisah Sentient Ecology Suku Marind Anim

Pertanyaan utamanya adalah apa itu sentient ecology? Sentient dalam terjemahan bahasa Indonesia bermakna hidup. Sedangkan ecology dapat bermakna lingkungan atau hubungan timbal balik manusia dengan alam.

Ketika membahas sentient ecology dalam konteks masyarakat Marind Anim, maka konsep itu bermakna tentang cara pandang suku tersebut perihal alam. Dalam jurnal penelitiannya, suku Marind Anim menganggap hutan layaknya makhluk hidup. 

Masyarakat Marind menghormati alam layaknya hubungan manusia dengan manusia. Mulai dari berbagi tempat tinggal hingga tidak memanfaatkan tumbuhan secara sembarangan. Salah satu contohnya adalah bagaimana masyarakat Marind menghormati sagu. 

Sagu merupakan tumbuhan yang sakral bagi mereka. Masyarakat Marind bahkan menganggap sagu sebagai leluhur mereka. Memotong sagu, artinya memotong manusia. Perhatikan kalimat berikut ini,

Kelapa sawit membunuh sagu. Kelapa sawit membunuh kerabat kami. Kelapa sawit mencekik sungai kami. Kelapa sawit menguras tanah kami,” itu adalah kutipan lirik lagu yang dibawakan oleh Gerardus Gebze, seorang warga asli Marind Anim di Merauke. 

Sophie mencatat lirik tersebut dalam jurnal penelitiannya dan menganalisa maksud lagu tersebut. Kedekatan dipupuk melalui kisah nenek moyang mereka. Dari kisah mereka, dahulu, saat moyang Mahuze hendak menuju Merauke, sagu merupakan tanaman yang sangat berjasa bagi mereka. 

Dalam perjalanannya menuju Merauke, moyang Mahuze mendayung perahu yang disebut dengan nama Yom, dengan didayung oleh Gaba-gaba–gayung yang digunakan untuk mendayung Yom. Di tengah perjalanan, moyang Mahuze harus mencari daratan lantaran layar mereka patah.

Setelah menemukan daratan, moyang Mahuze berhenti dan menapakkan kakinya di tanah itu. Di sanalah mereka bertemu dengan Ngi Moro atau yang lazim disebut sebagai sagu. Tanaman itu, menjadi simbol marga Mahuze karena jasa mereka terhadap nenek moyang mereka. 

Sagu kemudian disakralkan dan menjadi tanaman yang sangat dijaga oleh marga Mahuze. Melalui sejarah tersebut, marga Mahuze menganggap bahwa kebun-kebun sagu merupakan area yang disakralkan. 

Perasaan yang dekat dan intim antara masyarakat Marind dengan alam adalah apa yang disebut sebagai konsep sentient ecology dalam kacamata Sophie untuk masyarakat Marind. Secara sederhana, konsep ini menggambarkan keakraban manusia dan alam layaknya manusia dengan manusia.

Tak ayal, ketika hutan sagu ditebang untuk keperluan sawit, masyarakat Marind merana. Ekspansi sawit bukan hanya masalah lingkungan, melainkan lebih dari itu. 

Sentient Ecology: Kala Manusia dan Alam Hidup Berdampingan 

Hal yang dapat dipelajari dari masyarakat tradisional adalah kearifannya dengan lingkungan sekitar. Salah satu contohnya adalah masyarakat Marind Anim, Merauke. Penghormatan mereka atas alam tak hanya menjaga kelestariannya, namun juga berpengaruh pada makhluk hidup lainnya.

“Hutan itu penuh dengan kehidupan karena sagu tahu cara berbagi ruang dengan orang lain. Ikan terletak di sungai di antara akarnya. Sarang burung di ujung batangnya. Serangga bernyanyi dengan angin di daunnya. Anim (manusia) memberi makan intinya. Sagu adalah pohon dari banyak nyawa,” ungkap Oktavianus, warga Marind, mengutip dari jurnal ilmiah Sophie Chao berjudul Sago: A Storied Species of West Papua.

Masyarakat Marind percaya bahwa sagu adalah rumah bagi makhluk hidup lainnya. Kepercayaan ini adalah tradisi yang mereka turunkan kepada generasi muda mereka agar tetap menjaga tumbuhan itu. Atas kepercayaan tersebut, mereka turut menjaga ekosistem yang ada.

Sentient ecology adalah kunci dari konservasi. Anderson dalam karyanya menjelaskan bahwa sentient ecology adalah emosi antara hubungan manusia dan alam yang mendatangkan kepekaan satu sama lain. Menurutnya, ilmu konservasi terbentuk dari hubungan ini.

Eda Elif Tibet, seorang antropolog asal Turki, memberikan contoh perihal praktik dari sentient ecology. Ia menyebut, lukisan yang dibuat oleh manusia purba adalah bentuk pembelajaran yang muncul dari kepekaan atas sentient ecology tersebut.

Artinya, kepekaan alam atau kecintaan terhadap alam adalah benih dari pandangan sentient ecology yang mana merupakan kunci dari konservasi alam. Tanpa ada kecintaan terhadap alam, maka kepekaan terhadap alam pun hilang. 

Masyarakat Marind mengajarkan kepada dunia tentang makna penghormatan terhadap alam. Tak luput, mereka juga mengajarkan metode konservasi demi ekologi yang lebih baik.

 

Sumber:

Ahmad Arif. 2020. Sagu Papua Untuk Dunia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia 

Chao, Sophie. 2019. Sago: A Storied Species of West Papua. Researchgate

Nugroho, Hernawan. 2019. Ekspansi Kebun Sawit di Papua Barat yang Mengancam “Anggota Keluarga” Suku Marind. Trubus edisi 30 Oktober 2019

Tibet, Eda Elif. 2019. The sentient ecology of Cappadocia: dovecote

paintings, pigeons, vineyards, cave dwellers and fairy chimneys, Biodiversity. Taylor & Francis

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments