HomeKabar BintuniMenelisik Sejarah Sawit Indonesia, Komoditi yang Digandrungi Hingga Kini

Menelisik Sejarah Sawit Indonesia, Komoditi yang Digandrungi Hingga Kini

Ilustrasi Sawit. Foto; Pixabay

Indonesia menyandang status sebagai negara penghasil sawit terbesa di dunia. Selama 5 tahun terakhir, luas lahan sawit di Indonesia relatif bertambah. Pada tahun 2019 saja, luas lahan sawit di Indonesia mencapai 14.456.611 hektar dan tersebar di seluruh Nusantara. Pertanyaanya, mengapa bisnis sawit begitu digandrungi?

Semua berawal dari masuknya sawit ke Indonesia sekitar tahun 1848. Tumbuhan yang berasal dari Afrika ini dibawa oleh kolonial Belanda dan dibudidakayakan di Kebun Raya Bogor. Ternyata, tumbuhan sawit tumbuh subur di Indonesia dan mulai dibudidayakan untuk komersial pada tahun 1910 di Sumatera.

Sebelum disebut sukses, pemerintah Beladan melakukan ujin coba penanaman di berbagai daerah. Mereka menargetkan 146 lot benih kelapa sawit disebar di Jawa dan Madura, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Hasilnya, terbukti tanaman sawit tumbuh subur di Indonesia.

Adalah lembaga Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra (AVROS), sebuah lembaga penelitian sawit yang juga melibatkan warga lokal. AVROS terbentuk atas inisiatif asosiasi pemilik, pekebun, dan pedagang karet di Pantai Timur Sumatera. 

Dari kacamata pebisnis dan pemilik lahan kelapa sawit, komoditi ini sangat menguntungkan. Pertama, dari ketahanannya akan krisis. Energi nabati yang dinilai sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia merupakan daya saing sawit yang membuatnya kebal krisis. 

Kedua, dilihat dari sejarahnya, sawit memberikan sejumlah kontribusi terhadap beberapa sektor. Misalnya, dalam sektor ketenagakerjaan, lahan sawit memperkerjakan 2,8 juta orang di lapangan yang 1,6 juta merupakan petani perkebunan kecil. 

Dalam sudut pandang pengembang sawit, data di atas menunjukkan potensi sawit akan lahan pekerjaan. Misalnya, pemerintah dapat mengembangkan lahan sawit setidaknya 400.000 hektare setiap tahunnya, maka diprediksikan ada minimal tenaga kerja yang terserap mencapai 800.000 KK .

Hal ini mengacu pada data bahwa lahan sawit membutuhkan 0,2 hari kerja perhari. Ini menandakan daya serap lahan sawit akan tenaga kerja cukup menjanjikan, atau sekitar 30 persen jika jumlah angkatan kerja di Indonesia pertahun adalah 200.000.

Selanjutnya, sawit dinilai memiliki andil dalam pengembangan daerah pedalaman. Kehadiran sawit dinilai mendorong kemajuan daerah seperti infrastruktur jalan dan jembatan yang bisa digunakan untuk kepentingan umum. Awalnya, pembuatan infrastruktur ini digunakan untuk pengusaha yang ingin melakukan investasi sawit.

Pada tahun 1990-an misalnya. Pengusahan di wilayah Mamuju harus menempuh perjalanan dari Donggala selama 8 jam. Sekarang hal itu tidak pelru lagi. Perjalanan cukup ditempuh 3 jam dengan mobil.

Sayangnya, Infrastrutkur Tidak Bisa Dimakan

“Dulu hidup kami lebih baik. Para perempuan di sini bisa menemukan berbagai jenis makanan. Ada juga yang menganyam tikar dan keranjang dari daun kering. Kami merakit lampu dari getah damar. Sekarang tidak ada lagi bahan untuk membuat itu semua,” ungkap Maliau perempuan suku Anak Rimba, Pulau Sumatra, tepatnya Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi.

Persoalan yang mendasar terkait sawit adalah kehadirannya yang menggeser lapangan hidup orang lain. Kasus yang dihadapi Maliau adalah 1 dari sekian kasus lainnya yang disebabkan oleh kehadiran sawit.

Maliau menjelaskan bahwa sebelum hadirnya perkebunan sawit di daerahnya, mereka hidup berkecukupan. Hutan menyediakan mereka seluruh bahan dan pangan yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. 

Mengutip Human Right Watch, pendirian dan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah merugikan masyarakat adat dan merenggut hak-hak mereka atas hutan, penghidupan yang layak, makanan, air, dan kebudayaan. 

Mengacu data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebuah organisasi nonpemerintah, terdapat  lebih dari 650 konflik terkait lahan yang memengaruhi lebih dari 650.000 rumah tangga pada 2017. Jika dilakukan rata-rata, terdapat 2 konflik lahan perhari pada tahun itu.

Lantas, untuk kepentingan siapakah sawit itu?

 

Sumber:
Astuti, Riana. 2021. Menelisik Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia. Gatra edisi 16 September.

Laporan HRW. 2019. Kehilangan Hutan Berarti Kehilangan Segalanya: Perkebunan Kelapa Sawit dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Human Right Watch edisi 22 September 2019.

Supriyono, Joko. 2017. Sejarah Kelapa Sawit Indonesia. Gapki edisi tahun 2017.

 

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments