Kancah selebritas Indonesia seperti hampa tanpa berita tertangkapnya artis karena penyalahgunaan nartkotika dan obat-obatan terlarang. Dalam rentang satu bulan terakhir, paling tidak sudah tiga artis yang dibekuk pihak kepolisian terkait dengan hal ini. Dan yang baru saja terjadi dan cukup viral menjadi buah bibir dunia media sosial adalah tertangkapnya Ardhito Pramono pada hari Rabu (12/1), di rumahnya karena menggunakan ganja.
Tertangkapnya artis karena penyalahgunaan narkotika, tentu saja menjadi panggung bagi dunia media. Pengguna Narkoba diposisikan sebagai kriminal dan penjahat. Hal ini kemudian memicu perdebatan klasik, mengenai masih patutkah pengguna narkoba dipidanakan? Pula perdebatan perihal ganja sebagai media pengobatan yang pantas untuk dilegalkan.
Legalisasi ganja bukanlah hal baru baik di Indonesia maupun dunia. Paling tidak sejak tahun 2010, Lingkar Ganja Nusantara yang dikomandani oleh Dhira Narayana telah mengadvokasi legalisasi ganja di Indonesia. Selain Dhira, sederet tokoh publik pun mendukung langkah ini, seperti komedian Pandji Pragiwaksono.
Alasan umum mengapa ganja harus dilegalisasi adalah, karena manfaat medisnya. Menurut riset National Institutes of Health (NIH), manusia telah menggunakan ganja sebagai penghilang sakit setidaknya sejak 5.000 tahun yang lalu. Pada tahun 2017, National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine (NAS), menerbitkan jurnal perihal dampak baik ganja bagi kesehatan. Lebih dari 10.000 penelitian medis tentang ganja, dinilai oleh badan ini, dan hasil ini hingga sekarang masih menjadi hasil riset yang paling komprehensif mengenai ganja.
UU Narkotika Menelan Korban
Namun, di Indonesia, perdebatan perihal legalisasi ganja ini tidak mendapatkan ruang. Hingga kini, tolok ukur yang dipergunakan untuk menolak legalisasi ganja dan merevisi Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah azas kepatutan yang masih mempercayai bahwa ganja lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
Atas hal ini pula, penerapan Undang-Undang Narkotika telah menelan korban. Ingatan kita masih segar tentang perjuangan Fidelis Arie Sudewarto yang ditangkap pada tahun 2017 karena menanam pohon ganja, untuk mengobati istrinya yang menderita syringomyelia atau tumbuhnya kista berisi cairan (syrinx) di dalam sumsum tulang belakang.
Fidelis yang mengobati istrinya dengan mengesktrasi ganja sejak 2015, harus berhadapan dengan undang-undang yang justru membawa nestapa. 32 hari sejak Fidelis ditahan, istrinya harus meregang nyawa, karena pengobatan itu terhenti. https://regional.kompas.com/read/2017/04/04/06210031/akhir.perjuangan.fidelis.merawat.sang.istri.dengan.ganja.bagian.1.?page=2Â
Hal yang sama juga terjadi pada Musa, seorang anak penderita Cerebral Palsy. Musa, adalah anak dari Dwi Pertiwi, seorang ibu yang mengajukan judicial review terhadap Undang Undang Nomor 35 tentang Narkotika. Yang melatarbelakangi Dwi mengajukan judicial review adalah karena anaknya sempat mengalami kemajuan ketika diterapi dengan menggunakan ganja di Australia.
Namun, terapi ini harus berhenti karena Dwi harus kembali ke Indonesia dan berhadapan dengan undang-undang yang bahkan melarang ganja sebagai terapi kesehatan. Pada tanggal 26 Desember 2020, Musa harus pergi untuk selamanya, setelah berjuang selama 16 tahun melawan penyakitnya. https://icjr.or.id/breaking-news-kami-berduka-musa-anak-dari-ibu-dwi-pertiwi-pemohon-uji-materil-pasal-pelarangan-narkotika-untuk-pelayanan-kesehatan-meninggal-dunia/
Banyak tokoh di Indonesia yang telah mengadvokasi pelagalan penggunaan ganja sebagai alternatif dalam dunia medis. Namun, hingga kini pemerintah dan jajarannya masih menutup telinga. Undang-undang terus memaksakan pengguna narkoba sebagai kriminal. Jika terus mendatangkan nestapa, masih patutkah undang-undang ini diterapkan?
Sumber: https://www.medicalnewstoday.com/articles/320984#Cannabis-research-in-the-U.S.