HomeKabar BintuniKonflik Papua: Ketika Pembangunan dan Perdamaian Tidak Saling Sapa

Konflik Papua: Ketika Pembangunan dan Perdamaian Tidak Saling Sapa

Demonstrasi penolakan otsus dan operasi militer di Papua. Sumber: Detik.com

Dalam tulisannya, Dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan UGM sekaligus Peneliti Gugus Tugas Papua UGM, Alfath Bagus Panuntun menyebutkan bahwa nampaknya program pembangunan di Papua belum berhasil menciptakan kedamaian. Bahkan, dapat dikatakan bahwa konflik di Papua cenderung meningkat.

Dari data kekerasan, misalnya. Gugus Tugas Papua melaporkan jumlah kasus kekerasan di Papua antara 2010 hingga 2022 mencapai 348. Berbeda lagi dengan data dari Aliansi Demokrasi untuk Papua yang melaporkan ada 63 kasus kekerasan pada 2021 dan 53 kasus pada 2022. Data yang berbeda juga dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Daerah Papua yang melaporkan terdapat 106 kasus kekerasan pada 2021 dan 90 kasus pada 2022.

Jika menilik data dari Komnas HAM, kekerasan tidak hanya dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat -Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang akhir-akhir ini semakin keras melakukan perlawanan. Dari Komnas HAM mencatat 1.182 kasus kekerasan di Papua dilakukan TNI/Polri dan OPM dalam kurun waktu 2020-2021. Dari angka tersebut, sebanyak 41,31 persen berkaitan dengan kerja-kerja anggota Polri.

Jika dijabarkan, dalam kurun waktu 2 tahun tipologi tindakan kepolisian yang dilaporkan adalah kasus kekerasan dengan total 71 kasus, penyiksaan 45 kasus, intimidasi 6 kasus, penangkapan sewenang-wenang 35 kasus, penahanan sewenang-wenang 18 kasus, penanganan lambat 162 kasus, kriminalisasi 57 kasus, dan kematian tahanan 11 kasus.

Kembali kepada pernyataan di awal bahwa kedamaian di Papua hingga saat ini belum terwujud. Lantas, apakah kedamaian Papua hanya soal pembangunan? Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), setidaknya ada empat akar masalah di Papua yang menjadi PR bagi pemerintah dalam rangka menciptakan kedamaian. Antara lain: marjinalisasi, kegagalan pembangunan, sejarah integrasi, hingga kekerasan negara dan pelanggaran HAM.

Dalam tulisan Alfath Bagus Panuntun berjudul “Konflik Papua dan Tanggung Jawab Intelektual” setidaknya ada 4 motif konflik Papua berkaitan dengan apa yang disampaikan oleh LIPI.

Pertama, motif konflik Papua adalah aspirasi kemerdekaan. Sejarah integrasi Papua ke Indonesia sarat akan kontroversi, bahkan sarat akan kekerasan represifitas, pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kisah tersebut seakan bom waktu yang terus berjalan ketika kisah ketidaksetujuan sebagian rakyat Papua bergabung dengan Indonesia terus diceritakan kepada kalangan muda.

Motif konflik Papua yang kedua adalah kompetisi politik lokal. Pasca Reformasi, pemerintah menganggap pemekaran menjadi strategi ampuh untuk mengindonesiakan Papua. Justru, program tersebut menimbulkan gesekan antara sesama orang Papua Asli (OAP) dan non OAP. Misalnya, gagal dalam pemilihan daerah yang berujung pada kerusuhan. Atau yang disebutkan oleh Al Fath dalam tulisannya, banyak pemerintahan hasil pemekaran yang tidak berjalan dengan baik lantaran birokrasinya tidak didasarkan atas prestasi dan kemampuan dalam memerintah.

Berikutnya, motif konflik ketiga adalah motif ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum Papua dianggap sebagai sapi perah oleh Indonesia di mana sumber dayanya dikeruk habis. Masyarakat Papua kerap kali harus dipinggirkan untuk kepentingan ini, bahkan tidak merasakan hasilnya barang hanya menjadi pekerja di proyek tersebut. Kasus tambang ilegal, perkebunan sawit, atau kilang minyak sering kali menjadi sorotan. Hal ini memupuk dan melanggengkan ketidaksetujuan rakyat Papua dalam integrasi dalam Papua.

Terakhir, motif konflik Papua keempat adalah sosial-budaya. Marjinalisasi kian terbentuk ketika pemerintah abai akan migrasi yang terus terjadi hingga kini. Dulu, transmigrasi menjadi persoalan kala masyarakat lokal merasa tidak diikutsertakan dalam program tersebut. Hasilnya, kesenjangan antara pendatang dan orang lokal muncul. 

Rakyat Sudah Kisruh, Intelek dan Pejabat Jangan Ikutan

Sayangnya, penyelesaian konflik Papua menjadi persoalan tersendiri di kalangan pemerintah. Dalam kasus penyebutan kelompok bersenjata di Papua, misalnya. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mendefinisikan kelompok ini sebagai kelompok teroris bersenjata (KTB) dengan dasar Undang-Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018. Hal ini mendapat dukungan dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Dari Badan Intelijen Negara (BIN), kelompok bersenjata ini disebut sebagai kelompok separatis teroris (KST). Di lain sisi, TNI dan Polri menyebutnya dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB). Sedangkan kelompok bersenjata Papua secara konsisten mengaitkan dirinya dengan gerakan separatisme melalui sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

Perbedaan penyebutan nama ini berdampak pada penyelesaian dan siapa yang bertanggung jawab atas menangani kasus tersebut. Perbedaan pendapat tidak hanya soal penyebutan nama, namun juga cara penanggulangannya. Misalnya, melakukan pendekatan  keamanan, ekonomi, atau pemekaran wilayah.

Sebagai contoh, Hamid Awaludin dalam tulisannya berjudul “Jeda Kemanusiaan di Papua” menawarkan formula self-restraint untuk menjembatani kepentingan pemerintah dan kelompok separatis. Sayangnya pemerintah belum merespons. Kalau pemerintah sendiri sudah tidak percaya, bagaimana dengan rakyatnya?

Referensi:

CNN Indonesia. 2022. Komnas HAM Catat 480 Kasus Kekerasan di Papua oleh TNI, Polri & KKB. Edisi 17 Januari 2022.

Damayanti, Angel. 2023. Papua di Antara Beragam Kepentingan. Kompas edisi 19 Februari 2023.

Indonesia, Alfath Bagus Panuntun El Nur. 2023.Konflik Papua dan Tanggung Jawab Intelektual. Kompas edisi 1 Mei 2023.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments