Manokwari, 31 Oktober 2024 — Sekretaris Jenderal Komite Nasional Pemuda Papua (KNPP), Zakarias Horota, dengan tegas menolak rencana pemerintah pusat membuka 2 juta hektar lahan di Provinsi Papua Selatan untuk program transmigrasi nasional yang digagas Presiden Prabowo Subianto. Program tersebut bertujuan mendatangkan para transmigran ke tanah Papua dengan menyediakan lahan seluas empat hektar serta rumah untuk setiap Kepala Keluarga (KK) yang berpartisipasi dalam program ini. KNPP menilai bahwa kebijakan ini akan berdampak buruk bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat adat Papua dan dapat menimbulkan berbagai permasalahan sosial.
Data dari Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Provinsi Papua per 31 Maret 2000 menunjukkan bahwa program transmigrasi di Papua telah berlangsung selama 30 tahun sejak masa pra-Pelita hingga akhir Pelita VII sebelum reformasi tahun 2000. Tercatat sebanyak 78.650 KK transmigran, yang terdiri dari 306.447 individu, ditempatkan di 217 lokasi transmigrasi di seluruh Papua. Lokasi-lokasi ini tersebar di berbagai wilayah seperti Manokwari, Teluk Bintuni, Merauke, Kerom Arso, Mimika, dan Timika.
Zakarias Horota menyatakan bahwa program transmigrasi nasional ini sejak awal telah menimbulkan pro dan kontra. Banyak pihak mempertanyakan manfaat program ini bagi masyarakat adat Papua, karena bukannya meningkatkan kesejahteraan, program transmigrasi justru dinilai mengancam keberadaan tanah adat. “Faktanya, tanah adat milik masyarakat Papua banyak yang diambil alih oleh pemerintah pusat untuk dijadikan lahan perkebunan dan industri. Dalam proses ini, masyarakat adat seringkali tidak mendapatkan kompensasi yang memadai dan kehilangan hak-hak mereka atas tanah leluhur,” ungkap Horota.
Lebih lanjut, Horota mengungkapkan bahwa para transmigran yang diberikan modal berupa tanah, rumah, dan alat kerja kini menjadi lebih makmur, sementara masyarakat adat Papua yang memiliki hak atas tanah adat justru masih hidup dalam kemiskinan. Hal ini, menurutnya, menunjukkan ketidakadilan dalam pelaksanaan program tersebut. “Kami melihat transmigrasi ini lebih menyerupai kolonisasi yang mengakibatkan ‘jawanisasi’, Islamisasi, imperialisme budaya, militerisasi, dan alienasi tanah seperti yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti,” tambahnya.
Horota juga mendukung pernyataan Senator Papua Barat, Lamek Dowansiba, yang meminta Presiden Prabowo Subianto untuk meninjau ulang rencana pemerintah tersebut. Selain itu, ia menyerukan kepada semua anggota DPD RI dari enam provinsi di Papua agar bersama-sama menyuarakan hak-hak masyarakat adat di hadapan pemerintah pusat.
Sebagai Sekretaris Jenderal KNPP, yang merupakan salah satu pilar pemuda dalam Presidium Dewan Papua (PDP), Horota menghimbau seluruh pemuda Papua di tujuh wilayah adat untuk tidak tinggal diam. Ia meminta mereka untuk menyuarakan aspirasi dan menolak kebijakan ini secara damai serta bermartabat, sesuai dengan koridor hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Tanah adat adalah warisan paling berharga dari Tuhan Sang Pencipta. Kita wajib melindungi dan menjaga hak-hak kita atas tanah tersebut,” tegas Horota.
Rencana transmigrasi nasional ini diharapkan akan mendatangkan gelombang transmigran baru ke tanah Papua. Namun, KNPP dan banyak masyarakat adat Papua khawatir program ini akan mengikis hak-hak masyarakat adat, menimbulkan perubahan demografis yang signifikan, dan mengancam kelestarian adat dan budaya asli Papua. Dukungan KNPP terhadap upaya hukum yang damai ini diharapkan dapat memicu kesadaran luas di kalangan pemuda Papua akan pentingnya mempertahankan hak-hak mereka atas tanah adat sebagai upaya menjaga identitas dan kesejahteraan masyarakat Papua di tengah arus modernisasi dan pembangunan.
Melalui pernyataan pers ini, KNPP mengajak masyarakat Papua, khususnya para pemuda, untuk tetap menjaga perdamaian dan menghindari tindakan anarkis dalam menyuarakan pendapat.