Upaya pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi bukanlah hal baru di Indonesia. Usaha penguasa untuk “menertibkan” pihak yang berseberangan seperti sudah menjadi sebuah kelaziman sepanjang bangsa ini mengenal pemerintah.
Zaman Pemerintahan Belanda
Pada zaman pendudukan Belanda, tidak jarang pemerintah membungkam mereka yang mengkritik. Pembredelan hingga pengasingan kerap dialami oleh mereka, terutama insan pers yang menyuarakan keresehan melalui tulisan.
Pada tahun 1913, Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih kita kenal sebagai Ki Hajar Dewantara, wartawan yang menulis di beberapa surat kabar, pernah ditangkap, penjarakan dan diasingkan selama enam tahun oleh Belanda, karena tulisannya yang dianggap menghasut.
Kala itu, dalam tulisannya Als ik een Nederlander (Seandainya Aku Seorang Belanda) di koran De Expres, ia mengkritik rencana pemerintah Belanda yang memungut uang secara paksa dari pribumi pada tahun 1913, untuk merayakan 100 kemerdekaan Belanda dari jajahan Perancis.
Artikel yang begitu pedas kepada pemerintah Belanda, yang sedikit terkutip berikut ini: “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu”
Zaman Orde Lama
Di akhir kepemimpinannya, Soekarno, Jenderal Besar Revolusi dan Bapak Proklamasi kita ini pun dianggap sebagai kepemimpinan yang tirani, otoriter dan koruptif oleh Soe Hok Gie. Waktu itu, Soekarno tak jarang memenjarakan mereka yang berseberangan dengannya, salah satunya adalah Buya Hamka.
Pada Januari 1964, Buya Hamka dipenjara dengan tuduhan merencanakan pembunuhan menteri agama dan Presiden Soekarno. Meskipun tidak terbukti, Buya Hamka tetap dipenjara selama dua tahun enam bulan. Ia baru dibebaskan ketika rezim berpindah ke pemerintahan Soeharto. Tak hanya memenjarakan fisiknya, namun pemikiran-pemikiran Buya Hamka selama pengekangan, dilarang untuk terbit dan beredar.
Zaman Orde Baru
Dari semua zaman pemerintahan di Indonesia, mungkin rezim Soeharto lah yang dianggap paling otoriter dalam sejarah demokrasi bangsa ini. Kebebasan warga benar-benar dibredel secara frontal.
Rezim yang disebut oleh Transparency International sebagai salah satu rezim paling korup dalam sejarah dunia modern, kerap memenjarakan bahkan menghilangkan lawan-lawan politiknya, maupun aktivis-aktivis yang bersuara kritis.
Sepanjang 1997-1998 sendiri, ada 13 aktivis reformasi yang hilang diculik, di antaranya adalah Widji Thukul yang hingga kini tak terdengar kabar rimbanya.
13 Aktivis ini menurut catatan Kontra(S) merupakan bagian dari 23 orang yang dihilangkan negara. Satu di antaranya meninggal, yaitu Leonardus Gilang, dan sembilan orang lainnya dilepaskan.
Zaman Reformasi
Bentuk represifitas pemerintah terhadap rakyat pada zaman modern, berkembang seiring teknologi. Di era internet dan keterbukaan informasi, pemerintah kerap membungkam mereka secara kasat mata. Hukum dipergunakan untuk kepentingan mereka yang berkuasa secara telanjang.
Jika penjara tanpa alasan maupun pembredelan secara paksa dan penghilangan aktivis dipergunakan oleh zaman sebelum reformasi, di zaman modern ini, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan senjata pamungkas yang mampu melaksanakan tugas itu.
Pejabat atau penguasa yang antikritik sering mempergunakan undang-undang ini, dengan frasa ketersinggungan atas ucapan seorang warga. Kebebasan berekspresi ternyata tidak sebebas apa yang kita bayangkan ketika reformasi digaungkan.
Ketersinggungan seorang pejabat atas pengungkapan hasil riset yang menunjukkan namanya, secara vulgar ditampilkan oleh para penegak hukum karena ketersinggungan dengan kata “lord”
Dalam kasus Haris-Fatia melawan Luhut Binsar Panjaitan, mereka yang masing-masing dituntut 4 dan 3,5 tahun penjara, merasakan betapa tajamnya undang-undang ketika seorang pejabat publik harus melampiaskan amarahnya.
Yang lebih lucu dari peradilan ini, hasil riset yang dipaparkan oleh Haris dan Fatia dalam podcastnya yang dipermasalahkan Luhut, tidak dipermasalahkan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Apa yang dipermasalahkan hanyalah kata “lord” atau “bermain” yang diucapkan di dalam podcast. Pengadilan anomali yang menuntut karena ketersinggungan pejabat, disambut oleh Jaksa yang juga sentimen oleh Haris Azhar dan pendukungnya selama persidangan, menghasilkan tuntutan yang sangat emosional.
Apa yang dituntut oleh Jaksa kepada Haris dan Fatia sudah di luar kewajaran nalar hukum kita. Memang batas yang ditentukan oleh undang-undang tidak dilampaui, namun tuntutan hukuman empat tahun dan 3,5 tahun menciderai kebebasan berekspresi yang sudah di titik nadir.
Tuntutan ini bahkan hampir sama dengan rata-rata tuntutan terhadap terdakwa korupsi, yang disebut sebagai kejahatan luar biasa. Ironi hukum ini dipraktikkan oleh mereka tanpa ada rasa sungkan kepada masyarakat.
Sebagai penutup, izinkan saya mengutip Evelyn Beatrice Hall mengenai kebebasan berekspresi, ketika menulis tentang Voltaire “Saya tidak setuju apa yang kamu katakan, tetapi saya akan membela sampai mati hakmu untuk mengatakan itu,”
Sumber referensi:
Amnesty.id – kebebasan berekspresi
Rubrik ini merupakan opini dari redaksi