Teluk Bintuni, 19 Maret 2025 – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Teluk Bintuni untuk segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna mengawal pengelolaan Participating Interest (PI) 10%. Langkah ini dinilai mendesak karena Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua Barat telah memulai pembahasan rancangan aturan PI 10%, yang dikhawatirkan dapat mengurangi hak daerah penghasil jika tidak segera diantisipasi.
Desakan Pembentukan Pansus untuk Menjaga Hak Daerah
Direktur Eksekutif YLBH Sisar Matiti, Yohannes Akwan, SH., MAP., menegaskan bahwa DPRK Teluk Bintuni tidak boleh pasif dalam isu ini. Pembentukan Pansus menjadi keharusan untuk memastikan bahwa keputusan terkait rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan dana PI 10% tetap memberikan kontribusi maksimal bagi daerah, sesuai dengan hak Teluk Bintuni sebagai wilayah terdampak.
“Kami melalui bagian Riset, Data dan Publikasi YLBH Sisar Matiti telah melakukan riset cepat secara berkala untuk isu ini untuk memetakan berbagai aspek untung ruginya, oleh karenanya kami mengimbau agar DPRK Teluk Bintuni jangan diam. Pansus harus segera dibentuk untuk berkoordinasi dengan pemerintah provinsi agar kebijakan yang diambil tidak merugikan masyarakat dan daerah,” tegas Akwan.
Menurutnya, tanpa pengawasan ketat dari DPRK dan pemerintah daerah, ada risiko bahwa provinsi akan mengambil peran lebih besar dalam pengelolaan PI 10%, yang seharusnya menjadi hak utama daerah penghasil. Menurutnya ini merupakan bentuk ketidakadilan bagi daerah penghasil, dan juga masyarakat yang terdampak langsung.
Regulasi Baru dan Dampaknya terhadap APBD
Pada 2 Januari 2025, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia telah menetapkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016. Peraturan ini mengatur lebih lanjut tentang mekanisme penawaran dan pengelolaan PI 10% di wilayah kerja minyak dan gas bumi. Aturan baru ini mulai berlaku sejak 6 Januari 2025. (sumber: peraturan.bpk.go.id)
Yohannes Akwan menilai bahwa regulasi baru ini harus segera dikaji oleh pemerintah daerah dan DPRK karena berpotensi mempengaruhi kondisi fiskal daerah. Dengan adanya dana tambahan dari PI 10%, perlu ada pengelolaan yang transparan agar manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat hukum adat serta dialokasikan untuk investasi daerah melalui BUMD.
“Pernyataan Menteri cukup baik untuk kita pelajari. Namun, dari surat yang diterima, masih banyak yang berpatokan pada aturan lama. Sementara aturan baru ini bisa berdampak pada fiskal daerah dan postur APBD. Jika cepat diterapkan, bisa masuk dalam anggaran perubahan tahun ini, tetapi jika terlambat, baru bisa diestimasi dalam APBD 2026,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa daerah harus segera menetapkan strategi, termasuk menentukan berapa persen dana PI 10% yang harus diinvestasikan ke dalam Genting Oil dan berapa yang harus dialokasikan untuk kepentingan masyarakat hukum adat dan pemerintah daerah.
Kegagalan Masa Lalu dan Langkah Strategis ke Depan
YLBH Sisar Matiti menyoroti bahwa dalam mekanisme lama, setelah Plan of Development (POD) Genting Oil diterima, seharusnya dalam 60 hari ke depan sudah ada penawaran ke pemerintah daerah. Namun, dalam praktiknya, daerah sering kali terlambat mendapatkan informasi sehingga kehilangan kesempatan untuk melakukan negosiasi bisnis secara Business to Business (B to B).
“Yang terjadi selama ini, mereka baru menyampaikan setelah lewat 60 hari bahwa daerah terlambat untuk melakukan B to B. Padahal, Pemda dan masyarakat punya hak paten dalam investasi ini. Ini yang harus diperbaiki agar Teluk Bintuni tidak selalu dirugikan,” tegas Akwan.
Untuk itu, setelah Pansus dibentuk, langkah strategis selanjutnya adalah berkoordinasi dengan anggota DPR Papua Barat dari Daerah Pemilihan Teluk Bintuni agar mereka turut menyuarakan kepentingan daerah. Selain itu, Pansus juga perlu segera melakukan audiensi dengan dinas terkait di tingkat provinsi dan bahkan bertemu langsung dengan Gubernur Papua Barat guna memastikan bahwa kebijakan yang diambil tetap berpihak pada kepentingan daerah penghasil.
Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengelolaan Dana PI 10%
Sebagai langkah pengawasan, YLBH Sisar Matiti mengusulkan agar selain Pansus di DPRK, pemerintah daerah juga membentuk tim internal untuk memastikan transparansi pengelolaan dana PI 10%.
“Dana ini harus benar-benar digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Teluk Bintuni. Oleh karena itu, perlu ada mekanisme pengawasan yang jelas dari DPRK dan pemerintah daerah agar tidak ada penyalahgunaan,” pungkas Akwan.
Dengan langkah yang cepat dan tepat, dana PI 10% diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi Teluk Bintuni dan digunakan untuk kepentingan pembangunan daerah serta kesejahteraan masyarakat secara luas.